Sebuah renungan memasuki Pekan Suci.
Injil yang dibacakan di Minggu Palma ini diambil dari Matius 27:14:27:66. Di sana ada dua dakwaan bagi Yesus sehingga Ia layak dihukum mati.
Dakwaan yang pertama adalah “Yesus Raja Orang Yahudi”. Yesus mengaku sebagai raja. Dakwaan ini ditanyakan oleh Pilatus, dan akhirnya ditetapkan dan dipaku di atas kaya salib Yesus. INRI – Yesus orang Nazaret, Raja Orang Yahudi. Mengapa mengaku raja orang Yahudi pantas mati? Karena Dia menganggap diri-Nya sama dengan Allah. Itu penghujatan. Bagi orang Yahudi, satu-satunya raja mereka adalah YAHWE, ALLAH Abraham Ishak Yakub yang membebaskan mereka dari perbudakan di Mesir, yang membawa mereka ke Tanah Terjanji.
Meski, dulu mereka juga punya raja dari pihak manusia, yakni Saul, Daud dan Salomo. Tapi itu pun karena mereka sendiri yang merengek-rengek kepada Allah, supaya boleh mengangkat seorang raja manusia. Akhirnya terbukti gagal. Setelah Salomo, kerajaan terbagi dua, dan raja-raja berikutnya berbuat jahat di hadapan Allah. Jadi ga boleh ada lagi manusia yang menjadi raja bagi mereka. Raja manusia hanya membawa kekacauan bagi mereka.
Dakwaan kedua, adalah “Kalau Engkau Putra Allah”. Kalimat ini dilontarkan oleh orang-orang yang menghina Yesus di salib. Reffrainnya selalu begitu, “Jika Engkau Anak Allah, selamatkanlah diri-Mu, turunlah dari salib, minta Allah menyelamatkan-Nya”. Mengaku sebagai Anak Allah – berarti Yesus menyamakan diri-Nya dengan Allah. Lagi-lagi itu penghujatan! Hukumannya mati. Mereka tidak bisa mengerti, bagaimana Manusia menjadi Allah, atau sebaliknya, Allah menjadi manusia itu gimana. Allah ya Allah, manusia ya manusia.
“KRISTUS YESUS, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.” Filipi 2:6-8
Ide tentang Allah menjadi manusia, atau Allah juga manusia, atau menuhankan manusia atau manusia yang jadi Tuhan merupakan ide yang sulit diterima oleh sebagian orang. Bahkan sampai sekarang. Banyak orang masih sulit menerima Yesus sebagai Allah dan Manusia karena seolah tidak bisa dipersatukan. Padahal ide ini – menurut saya – sangat masuk akal. Ide “menuhankan” manusia sama sekali tidak aneh.
Dengan menjadi manusia, Allah memuliakan manusia. Mengangkat kembali manusia, yg tadinya telah rusak karena dosa, menjadi mahkluk mulia. Dengan menjadi Manusia, Yesus, Allah, mengajak semua yang percaya kepada-Nya untuk ‘menuhankan manusia’. Kini manusia – sesamamu manusia adalah “Tuhanmu”. Jadi, sebagaimana semua yang kita lakukan bagi Tuhan, itu pula yang kita lakukan bagi manusia. Melayani Tuhan – berarti melayani manusia. Mengasihi Allah dan mengasihi manusia seperti dirimu sendiri.
Sesama manusia – kita hormati, cintai, layani dengan selayaknya kita hormati, cintai dan layani Tuhan. Manusia. Semua manusia. Juga yang paling hina, dan YANG PALING JAHAT SEKALIPUN.
Maka segalanya menjadi jelas. Mengapa Yesus diam saja waktu Dia dihina, diolok-olok, diludahi, dicambuk, dipaku pada kayu salib oleh manusia. Meski mereka jahat, mereka adalah manusia. Yesus sedang memuliakan manusia. Saat itu Yesus sedang melaksanakan sabda-Nya sendiri, ““Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.” Matius 5:44 .
Puncaknya adalah wafat-Nya di salib. Ia menunjukkan bahwa ““Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” Yohanes 15:13.
Manusia adalah sahabat Allah, sahabat sesamanya.
Selamat merayakan Pekan Suci
RA