Paskah tahun 2018 ini dirayakan ketika Keuskupan Agung Jakarta menjalani TAHUN PERSATUAN dengan semboyan “Amalkan Pancasila : Kita Bhinneka, Kita Indonesia”. Dalam Tahun Persatuan ini seluruh umat diajak untuk bersyukur karena Tuhan menganugerahkan keragaman dalam hidup bersama sebagai satu nusa, satu bangsa. Dan satu bahasa. Keragaman itu tercermin antara lain dalam angka-angka ini : Negara dan Bangsa Indonesia terdiri dari 17.504 pulau, 1.340 suku bangsa dan 546 bahasa. Kendati begitu, beragam kita hidup dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai rumah kita bersama. Keragaman dan sekaligus kesatuan ini kita syukuri dalam Doa Prefasi Tanah Air : “Berkat jasa begitu banyak tokoh pahlawan, Engkau menumbuhkan kesadaran kami sebagai bangsa, … kami bersyukur atas bahasa yang mempersatukan, … dan atas Pancasila dasar kemerdekaan kami”.
Dalam doa Prefasi ini, kita mengungkapkan iman kita bahwa bangsa dan negara Indonesia adalah buah karya agung Allah. Doa Prefasi itu mengajak kita semua untuk mengenang peristiwa Kebangkitan Nasional, Sumpah Pemuda dan Proklamasi Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai karya Allah yang agung. Sebagai bangsa yang beragam kita mempunyai cita- cita yang sama, yaitu mewujudkan negara yang berketuhanan, adil dan beradab, bersatu, berhikmat dan bijaksana serta damai dan sejahtera. Itulah “tanah terjanji” bagi kita dan bagi seluruh bangsa Indonesia. Kita semua sedang menapaki jalan menuju “tanah terjanji” itu.
Di lain pihak, kita tidak bisa menutup mata terhadap kenyataan, yang tampak jauh dari cita-cita kita sebagai bangsa. Secara khusus berkaitan dengan cita-cita Persatuan Indonesia, kita tidak jarang menyaksikan bahwa perbedaan yang seharusnya menjadi rahmat, seringkali tampak sebagai penghambat. Berbagai penelitian menguatkan kesan itu.
Merawat Ingatan Bersama sebagai Bangsa Indonesia
Berbagai penelitian dan banyak petunjuk yang lain, mengungkapkan bahwa ada masalah yang menyangkut persatuan dan kebhinekaan di negara kita. Mengapa sampai demikian? Salah satu alasannya, karena meskipun bangsa kita sebenarnya mempunyai banyak ingatan bersama, namun ingatan bersama itu sudah banyak dilupakan, atau sekedar dibiarkan tinggal menjadi peristiwa masa lampau yang tidak mengikat kebersamaan, yang tidak menjadi inspirasi perjuangan untuk mencapai cita-cita kemerdekaan, dan tidak menjadi kekuatan ketika bangsa menghadapi krisis besar.