Keluarga-keluarga terkasih, tahun 2018 telah hadir bagi kita sekeluarga. Allah memberi kita kesempatan untuk memasuki tahun yang baru dengan gembira. Selamat Tahun Baru untuk Anda dan keluarga besar. Semoga segala yang baik diberikan Allah kepada Anda untuk Anda nikmati dan bagikan kepada banyak orang melalui hal-hal yang mendukung hidup bersama. Semoga hidup bersama Anda semakin menggembirakan.
Kami, keluarga Komisi Kerasulan Keluarga Keuskupan Agung Jakarta mengawali kegiatan komisi dengan bepergian bersama seluruh keluarga kami. Berwisata naik Kereta Api. Anak-anak dan bahkan orangtua kami pun diajak ikut serta. Menyenangkan dan menenangkan karena seluruh keluarga jadi “dekat” dengan komunitas komisi kami. Saya membayangkan bahwa seandainya hal ini terjadi dalam keluarga-keluarga kita semua, maka kedekatan bisa dijalin dan kegembiraan menjadi milik bersama.
Semangat kota besar selalu membawa keluarga untuk terpisah-pisah. Kesibukan dan pilihan aktivitas membuat masing-masing anggota keluarga tidak memiliki kesempatan untuk berinteraksi. Anak-anak mencari pemenuhan kebutuhan di luar, terutama melalui teman-teman sebaya dan teman teman dunia maya. Kekeringan seperti terpenuhi dengan kehadiran orang-orang di luar rumah dan di luar pertemuan fisik. Fenomena ini berimbas pada semakin inginnya orang diterima dan mengumpulkan perhatian dari orang orang di sekitarnya.
Keluarga yang hangat dan dekat adalah kerinduan semua orang. Untuk itu kita perlu menghindarkan diri dari situasi yang menenggelamkan bahtera keluarga menuju kehancuran. Keterlibatan dalam pelayanan Gereja pun tidak bisa menjadi pelarian yang menolong jika kita menghindarkan diri dari keterlibatan kita bersama pasangan, anak-anak dan orangtua kita di rumah. Dukungan, sentuhan, membuat kesepakatan empat mata, memberi senyuman asli, adalah cara-cara klasik yang seharusnya dilanjutkan, karena terbukti hal ini tidak tergantikan oleh dukungan online yang tanpa emosi.
Memang menyenangkan dan membuat kecanduan juga membaca komentar-komentar positif dan memotivasi. Komentar ini membuat kita ingin lebih lama lagi di sosial media itu. Kondisi ini juga membuat kecanduan dan mengabaikan dukungan otentik keluarga di rumah. kecanduan itu mengacaukan kebutuhan dukungan personal dari orang-orang terkasih. Fenomena “online likes” seperti ini sedikit banyak mempengaruhi relasi dalam keluarga.
Hal lain sebagai akibat dari terlalubanyaknya relasi online dan kecanduan internet adalah masalah kemalasan yang menurut sharing banyak keluarga amat mengganggu, khususnya di kalangan anak-anak dan remaja. Kemalasan dan penurunan prestasi pasti tidak mudah ditangani jika persoalan kecanduan ini tidak diselesaikan.
Di kalangan orang-orang dewasa, khususnya terkait dengan kehidupan menggereja, orang menjadi enggan terhubung dengan lingkungannya, karena merasa sayang meninggalkan aktivitas online-nya. Dunia religious mendapat pesaing dari dunia maya, karena banyak orang memilih aktivitas yang mereka kira sangat efektif dan “mengisi”. Kenyataannya, orang sibuk dengan dirinya sendiri, meninggalkan hidup bersama dan berjemaat, serta dikosongkan hidupnya karena dijerat waktu tanpa batas bersama jaringan elektronik itu.
Jika orang tidak terhubung dengan lingkungan sekitarnya, maka ia pun tidak memiliki hubungan emosional yang cukup untuk merasakan perasaan dicintai, diterima dan dibutuhkan. Selanjutnya, bisa saja ia kehilangan kerinduan untuk melibatkan diri, mengikatkan diri, dan akhirnya tidak mempunyai keinginan mempersembahkan diri secara tulus karena merasa kurang berguna.
Keluarga-keluarga yang terkasih, jika sebelum era digital, banyak keluarga Katolik kurang terlibat di lingkungannya, karena kesibukan pekerjaan, sekarang ini, jika kurang diperhatikan, maka semakin sulitlah melibatkan diri karena tantangan digital tadi. Kita berhadapan dengan situasi yang sangat tidak mudah. Anak-anak dan orangtua makin melek informasi, tetapi tidak selalu yang berguna. Mereka akan diarahkan untuk semakin rasional dan apatis pada lingkungan sekitarnya jika kita membiarkan mereka terlalu lama bermain games, media sosial, atau surfing internet.
Dalam pelayanan Gereja, dituntut juga suatu ketulusan atau keikhlasan sebagai dasar melayani. Kita perlu dengan tulus membuka diri pada pelayanan yang mengundang aksi nyata. Karya nyata ini tidak mungkin dilakukan sempurna dengan semangat “ingin tampil”, “ingin berkuasa”, apalagi “mencari untung”. Dunia digital mengarahkan kita kepada semangat itu. Media sosial membuat kita terkenal, menguasi orang lain, dan bahkan mencari keuntungan dengan lebih mudah. Barangkali renungan ini pantas kita cermati sebagai inspirasi bagi pelayanan terbaik kita.
Jangan tinggalkan rumah terlalu lama. Jangan abaikan perhatian bagi keluarga, fokus pada pasangan, anak-anak, dan orangtua tanpa terbagi. Dan selanjutnya, layanilah Tuhan dengan gembira melalui ketulusan dan keikhlasan yang murni. Saya percaya, kehidupan keluarga kita semua akan lebih baik dan seimbang jika kita memperhatikan hal-hal ini dengan baik. Segala sesuatu yang baik tidak boleh hanya ada di dalam konsep suci dan kata-kata bijaksana. Semua harus terwujud nyata.
Selamat memasuki Tahun Baru 2018, selamat melayani, semoga sebagai orang Katolik sejati, kita semakin kreatif mempersembahkan diri secara nyata, semakin manusiawi dalam berelasi, dan semakin rohani dalam melayani. Semoga seluruh keluarga diberkati. Amin
Rm. Alexander Erwin MSF