KAJ.or.id – “Selamat datang, romo”, “Mari, silakan masuk dan duduk”, “Ya ampun romo, kami sudah menunggu dari tadi kedatangan romo dan teman-teman”, “Hari ini saya ijin pulang cepat karena mau ada kunjungan”, “O, maaf, bapak dan ibu belum pulang kantor”, “tok, tok, tok…”
Ungkapan-ungkapan ini kerap kali terdengar dan menjadi ungkapan yang begitu hidup dalam seluruh rangkaian kegiatan kunjungan ke rumah umat dari satu keluarga ke keluarga yang lain. Ini menjadi sebuah kegiatan rohani yang dilakukan oleh para romo di paroki Bintaro Jaya, Gereja Santa Maria Regina. Pastinya, di banyak paroki di Keuskupan Agung Jakarta, kunjungan keluarga ini juga pernah atau sedang dilangsungkan pula.
Memang, dalam konteks paroki Bintaro Jaya, nyatanya kunjungan keluarga yang dilangsungkan tiap hari Rabu setiap minggunya ini dilakukan dengan waktu yang padat. Tiap rumah dikunjungi selama kurang lebih 20 – 30 menit. Tiap minggu, ada sekitar 7—8 keluarga yang dikunjungi. Sistem kunjungannya adalah demikian; jumlah lingkungan yang ada dibagi dua mengikuti jumlah romo yang ada di paroki. Lalu, romo dan pengurus lingkungan mengunjungi satu lingkungan di tiap bulan. Bentuk acaranya, perkenalan anggota keluarga, bersharing singkat, dan ditutup dengan doa keluarga yang diakhiri dengan berkat dari Romo.
Kunjungan ini terasa begitu sederhana dan terkadang juga memunculkan beragam pertanyaan dari umat, “ada apa Romo ke rumah kami; rasanya, kami tidak ada masalah”; ataupun sejuta tanya yang lain muncul dalam diri umat beriman. Ada yang spontan berkomentar, “seumur hidup saya menjadi orang Katolik, baru kali ini ada romo yang mau singgah ke rumah kami”. Lalu, sebenarnya apa yang diperjuangkan dari kunjungan ini? Semangat apa yang mau dihadirkan? Inilah pengalaman iman kita semua.
Gema Kerahiman Allah
Awalnya, kegiatan kunjungan ini menjadi salah satu gerakan yang ingin diupayakan dalam menggemakan Tahun Suci Luar Biasa Kerahiman Allah. Semangat yang ingin dihadirkan adalah sebuah perjumpaan dari wajah ke wajah. Perjumpaan ini tidak bisa tergantikan dengan adanya ragam teknologi komunikasi yang ada kini. Perjumpaan wajah ini menghadirkan wajah kerahiman Allah sendiri.
St. Yohanes dari Salib, dalam pengalaman mistiknya, mengatakan bahwa perjumpaan paling membahagiakan adalah perjumpaan dengan Allah dari wajah ke wajah, seperti yang direfleksikan oleh Rasul Paulus dalam 1 Kor 13. Pengalaman rohani ini berangkat dari pengalaman manusiawi, betapa bahagianya seseorang berjumpa dengan orang yang dikasihinya dari wajah ke wajah. Ketika keduanya saling memandang dan bercakap-cakap, keduanya hadir dan menjadi satu.
Pengalaman rohani inilah yang ingin dihadirkan dalam kunjungan romo dan pengurus ke lingkungan ke rumah umat beriman dari keluarga ke keluarga. Dengan hadir, berjumpa, dan bercengkrama sejenak, kita semua dipersatukan dalam kesadaran iman bahwa kita adalah Gereja; kita adalah satu komunitas dalam nama Yesus Kristus yang memancarkan kerahiman Allah.
Memang, nyatanya kerahiman Allah itu akan sangat kita kenali jika ada sebuah pengalaman perjumpaan. Yang pertama-tama pastinya adalah perjumpaan kita dengan Allah sendiri dalam doa-doa kita. Lalu, wajah kerahiman itu akan nyata pula dalam perjumpaan kita dengan sesama kita dari wajah ke wajah. Mungkin, kata perjumpaan dari wajah ke wajah tidak mudah dipahami, tetapi secara sederhana, yang dimaksudkan adalah perjumpaan yang bertatapan muka dengan penuh perhatian. Yang satu menatap dengan penuh kasih dan sebaliknya tanpa ada hasrat untuk merendahkan yang lain atau menjadikan yang lain itu objek.
Kerahiman yang Tak Tergantikan
Dalam pengalaman kunjungan umat beriman, setidaknya, wajah Allah maharahim tampak jelas dalam diri umat beriman dan pengurus lingkungan. Menarik sekali rasanya mengenali perjumpaan dengan umat beriman di tengah seluruh perjuangan hidupnya setiap hari dan tempat mereka tinggal. Wajah kerahiman itu hadir nyata sedari mereka mempersilakan romo dan pengurus lingkungan datang dan masuk ke rumah mereka.
Kerahiman Allah itu makin terungkap nyata dalam kisah singkat dan pernyataan umat beriman ketika kunjungan. Tak jarang dari umat beriman merelakan waktu kerjanya sejenak untuk bercengkrama sejenak dengan romo dan pengurus lingkungan. Bahkan, ada yang sengaja tidak berangkat kerja karena takut pulang terlambat, mengingat begitu padatnya jalan di Jakarta. Wajah kerahiman itu nyata dalam untaian kisah yang singkat tentang perjuangan hidup keluarga; kisah-kisah suka duka, kisah-kisah membanggakan, kisah-kisah haru, dan ragam kisah dalam iman.
Kerahiman Allah itu juga terungkap dalam diri para pengurus lingkungan. Mereka dengan setia menghubungi umat beriman terkait dengan penjadwalan dan hal-hal teknis lainnya agar semuanya dapat berjalan dengan lancar dan penuh berkat. Mereka harus memberikan penjelasan kepada umat beriman tentang kunjungan ini dan juga memberikan penjelasan pengantar kunjungan kepada romo agar tidak muncul hal-hal yang sensitif terkait keluarga yang bersangkutan.
Tak jarang, ada pengurus lingkungan yang berkisah bahwa mereka ditolak oleh umat lingkungan. Bahkan, di satu titik ekstrim, ada umat beriman yang segera berkata, “saya tidak butuh Romo; saya tidak butuh Gereja”. Akan tetapi, pengurus lingkungan dengan setia tetap memberikan informasi dan mengunjunginya sebelum kegiatan kunjungan dilangsungkan. Inilah tanda kerahiman Allah yang hadir dan begitu nyata. Ya, alhasil, ada umat beriman yang tidak membuka pintunya saat romo dan pengurus lingkungan datang berkunjung. Tetapi, secara simbolis, di sini tampak wajah kerahiman Allah yang selalu menyapa dan merindukan sebuah perjumpaan. Allah yang maharahim pastinya tak pernah henti menyapa dan mengetuk hati umat kesayangan-Nya.
Selain itu, wajah kerahiman juga menyatakan diri dalam diri umat beriman yang kemudian tergerak untuk mengambil bagian aktif di dalam Gereja. Kunjungan membuahkan wajah kasih Allah dan kesadaran tentang identitas diri sebagai Gereja. Keterlibatan umat beriman menjadi penegasan identitas Gereja yang hidup. Ada pribadi-pribadi yang dengan tegas berkata, “saya siap hadir dan membantu”. Dan, nyatalah pintu kerahiman Allah sungguh terbuka lebar di dalam Gereja untuk menumbuh-kembangkan Gereja sebagai umat Allah.
Kerahiman yang terus berkobar
Memang, kunjungan seperti ini berada dalam tegangan antara jumlah umat beriman yang tidak sedikit dan keterbatasan waktu yang ada. Namun, perjumpaan yang diupayakan ini menjadi perjumpaan yang sungguh berkualitas dan penuh makna. Yang tertinggal hanyalah hasrat untuk saling menyapa dan meneguhkan serta menghadirkan wajah kerahiman Allah.
Benar rasanya pengalaman jemaat perdana itu menjadi pengalaman hidup berkomunitas yang sejati, “mereka duduk bersama, makan, berbagi, dan berdoa bersama” (Kis 2:41-47). Dalam perjumpaan wajah ke wajah, seluruh diri hadir dan terlibat; seluruh emosi dan empati tampak di dalamnya; seluruh kasih dan perhatian tertumpah dalam satu kesadaran iman sebagai Gereja. Semuanya menghadirkan wajah-wajah yang berjuang untuk setia dan memuliakan Allah dalam naungan Ibu Gereja yang kudus.
Memang, nyatanya—dalam konteks paroki—tidak begitu mudah untuk mengunjungi umat beriman di paroki yang lebih dari 1200 kepala keluarga dalam waktu satu tahun; butuh waktu yang relatif berjangka panjang agar semua umat bisa terkunjungi keluarga demi keluarga. Akan tetapi, komitmen dan kesetiaan itulah yang menjadi tanda kerahiman yang terus berkobar. Kobarannya terasa selalu hangat dan membakar hati untuk bersaksi tentang betapa baik-Nya Tuhan.
Kerahiman itu selalu Kerahiman
Akhirnya, perjumpaan wajah ke wajah dalam kunjungan ini memberikan sebuah pemaknaan baru akan arti kerahiman Allah. Kerahiman itu nyata dalam sebuah perjumpaan. Kerahiman itu nyata dalam pengorbanan. Kerahiman nyata dalam kertersediaan dan keterbukaan. Kerahiman itu hadir dan menyapa serta pada saat yang bersamaan, kerahiman itu adalah membuka hati dan menerima.
Gereja Katolik dibangun dengan dan dalam wajah kerahiman-Nya. Kerahiman-Nya melekat dalam diri kita semua. Dan, kita semua seketika diajak untuk membuka hati akan Tuhan dan seketika memberikan diri kepada Tuhan dan sesama. Ada dua gerakan yang tak tergantikan dalam kerahiman Allah. Ada yang memberi dan ada yang menerima. Ada yang menerima dan ada yang memberi. Dan, semuanya itu mengalir dari pemberian cuma-cuma dari kasih Allah. Gerakan yang saling bertautan ini diharapkan dapat diteruskan pula dalam dunia yang lebih luas, dalam keluarga dan hidup bermasyarakat serta keutuhan ciptaan. ***
Anton Baur, Pr