KAJ.or.id – Beberapa bulan lalu demam game Pokemon Go sedang marak melanda di seluruh penjuru dunia termasuk Indonesia. Game ini memang berbeda dengan games kebanyakan saat ini, yang notabene mengungkung orang pada suatu ruangan, bersifat pasif dan individualis. Game Pokemon Go ini mengajak orang untuk aktif keluar dari ruang kenyamanan dirinya, berinteraksi dengan dunia luar dan bersosialisasi sesamanya. Inilah ide brilian yang dikeluarkan oleh perusahaan Jepang Nintendo yang sesungguhnya beberapa bulan lalu sudah mendekati ambang kebangkrutan. Hanya dua hari sejak game itu diluncurkan, harga saham perusahaan ini melambung 25% dan sekarang justru makin maju karena game itu “booming” di seluruh dunia.
Kenyataan ini merupakan salah satu fakta bahwa orang-orang zaman ini sudah mulai bosan dan jenuh dengan hal-hal yang biasa dan lumrah. Orang menginginkan suatu cara hidup yang berbeda dengan biasanya serta sesuatu yang baru untuk me-refresh diri dan pikirannya dari rutinitas kehidupannya.
Orang bukan hanya menginginkan sesuatu yang berbeda dari rutinitasnya, melainkan juga menginginkan banyak hal baru di dalam pelbagai sisi kehidupan manusia, sebagai contoh, pola makan yang kembali pada gaya hidup alami atau vegetarian, mulai berkembangnya gaya hidup yang menekankan pada keselarasan alam dan keheningan melalui banyaknya latihan-latihan yoga dan meditasi, dan gaya hidup yang kembali pada alam. Itulah fenomena baru yang ada di alam bawah sadar orang modern zaman ini yang secara tak sadar dirindukan dalam kehidupan sekarang.
Di balik semua fenomena alam bawah sadar itu, ada pertarungan sengit yang selalu diusung oleh para produsen dan para pemilik modal melawan kecenderungan manusia pada gaya hidup baru yang mengarah untuk kembali kepada yang alami. Dalam pertarungan itu para produsen dan pihak kapitalis/pemilik modal selalu berusaha mencekoki manusia modern bahwa hidup bahagia itu adalah hidup yang diwarnai oleh status sosial yang tinggi, dengan warna sekularitas yang amat kental dengan kekayaan, kemewahan hidup, kebermilikan yang tiada batas serta prestise jabatan yang dapat mengeruk segalanya.
Di zaman ini orang didoktrin melalui iklan di media massa dan media sosial bahwa hidup bahagia itu adalah hidup yang sukses, yang penuh dengan kemenangan serta tidak mengenal penderitaan dan kekalahan. Gereja Katolik justru menawarkan gaya hidup baru yang berbeda dengan apa yang ditawarkan dunia modern dengan segala bentuk sekularitasnya.
Melalui segala tindakan simbolis yang dilakukan oleh Paus Fransiskus kepada para pengungsi warga Rohingya, Bangladesh dan juga warga Iran bahwa mereka adalah pribadi manusia yang berharga walaupun tersingkir dari negaranya. Belum lagi tindakan simbolisnya saat pembasuhan kaki (sewaktu kamis putih tahun 2016 ini) kepada para pengungsi yang notabene tidak semuanya katolik, Paus ingin menunjukkan cinta Yesus kepada manusia “kalah” dan tidak sukses, “Cinta bukanlah sebuah kata, itu adalah suatu wujud nyata pelayanan; pelayanan yang rendah hati, tersembunyi dan diam” komentar Paus dalam pembasuhan itu.
Peristiwa lainnya yaitu saat ia terpilih menjadi Paus, ia lebih memilih tinggal di apartmen kecil dan sederhana dibandingkan harus tinggal di menara gading kepausan yang begitu mewah dan megah. Masih banyak lagi tindakan simbolis yang dilakukan Paus Fransiskus untuk mengkritik gaya hidup sekular dan hidup sukses yang ternyata dapat mematahkan anggapan yang dibawa oleh kaum kapitalis dan para produsen.
Melalui hidup yang sederhana yang tidak penuh dengan kemewahan dan status sosial yang tinggi ternyata dapat membawa manusia pada kebahagiaan sejati, yaitu kegembiraan saat ada sesama yang diangkat harkat dan martabatnya serta dihargai di depan manusia lainnya kendati orang itu tidak memiliki jabatan dan gelimang harta, namun ia memiliki martabat dan citra Allah yang sudah ada sejak awal hidupnya.
Yesus pun melakukan ini dalam karya dan semasa hidup-Nya, yaitu mencintai manusia dan mengangkat manusia yang penuh lumpur dosa menjadi anak-anak Allah dan diwariskan keselamatan dalam Kerajaan Allah.
Kaya adalah berkah, namun sedikit ruang latihan di sana. Meski ditakuti banyak orang, kemiskinan atau kekalahan (antonim dari kesuksesan) menghadirkan daya paksa tinggi untuk senantiasa rendah hati. Menang atau sukses memang membanggakan, namun godaaan atau ego dan kecongkakan besar sekali di sana. Nyaris semua orang tak ingin kalah, tetapi kekalahan adalah ibu dari kesabaran.
[1] Semoga kita sebagai orang kristiani bisa belajar dari Yesus dan Paus Fransiskus untuk menawarkan gaya hidup alternatif yang berbeda dan membawa orang pada kepenuhan harkat dan martabat manusia yang sejati, bukan karena kebermilikannya terhadap harta benda.
“Maukah kamu menjadi agen yang menawarkan gaya hidup alternatif itu dan mewartakan life style Kasih-Nya dalam kehidupanmu dengan menjadi berbeda dengan yang lain?”
(Rm Rafael Y. Kristianto)
[1] Berdasarkan pada tulisan Gede Prama “Kekalahan, Kemenangan, Keindahan” dalam Kompas, 25 April 2009.