KAJ.or.id – Suasana di aula Katedral Jakarta sejak pukul 16 sudah mulai ramai pada 23 Juni 2016 lalu. Sebagai tuan rumah Uskup Agung Jakarta Mgr. Ign. Suharyo pun sudah berada di lokasi. Satu per satu para tamu khusus yaitu para pengurus Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Prov. DKI Jakarta, Rombongan Kepala Kanwil Kemenag DKI, rombongan Kepala Badan Puskesbangpol Prov. DKI serta para alumni Sekolah Agama dan Bina Damai (SABDA) angkat I, II dan III.
Suasana keakraban terlihat dengan saling memberi salam dan bergurau. Hingga akhirnya dimulai dengan diskusi singkat bertajuk: Merajut Persaudaraan dalam Perbedaan. Lima orang panelis mengambil posisi di panggung yaitu Mgr. Ign. Suharyo, DR. H. Abdurrahman (kakanwil Kemenag DKI), H. Taufik (FKUB DKI), H. Taufan dan DR. Kardiono Kepala Badan Kesbangpol DKI. Tampil sebagai moderator Bpk. Rudy Pratikno, SH. Mgr. Suharyo menegaskan bahwa perbedaan itu adalah hakikat dasar manusia.
“Demikian juga anak bangsa ini terdiri dari berbagai latar belakang suku, agama dan ras. Sebagai bagian dari umat manusia di jagat ini kita pun memiliki rasa kemanusiaan. Rasa inilah yang mempersatukan kita seperti tertera dalam sila kedua Pancasila yaitu Kemanusiaan yang adil dan beradab,” tutur Mgr. Suharyo.
Pertanyaannya, lanjut Mgr. Suharyo, bagaimana kita yang saling berbeda ini bisa merajut rasa persaudaraan bukan sebaliknya rasa permusuhan. “Kuncinya adalah mengedepankan dialog baik itu dialog kerja maupun dialog etis. Setiap manusia telah terlukai entah itu dalam skala kecil seperti anak kecil yang dimarahi ibunya maupun skala besar seperti para pengungsi yang terusir dari negaranya karena adanya konflik. Bagaimana kita menanggapi luka batin ini agar kita bisa hidup semakin manusiawi. Kasus-kasus luka batin itu sperti kemiskinan, konflik, atau masalah social lainnya harus didialogkan dalam karya yang disebut dialog karya,” terang Mgr. Suharyo.
Agar dialog karya ini bisa berjalan perlu adanya kepedulian. “Gereja Katolik peduli pada para buruh pekerja di Tangerang. Lantas siapa yang mengurus anak-anak mereka? Lahirlah gagasan mendirikan rumah penitipan anak agar orang tua mereka bisa bekerja seharian,” katanya memberi contoh.
Bagaimana dengan anggota DPR peduli dengan masalah kemanusiaan? “Mereka misalnya harus membuat peraturan, UU yang bisa menjamin terpenuhinya hak setiap warganya. Atau FKUB prihatin melihat semakin merosotnya kerukunan antar umat beragama maka dilahirkanlah program SABDA. Jadi semuanya karena ada kepedulian,” tandas Mgr. Suharyo.
Seiring dengan pernyataan Mgr. Suharyo hal serupa juga terungkap dari Kakanwil Kemenag DR. Abdurrahman. “Persaudaraan kongkrit itu telah terujud malam ini. Teman-teman dari non muslim menghargai kami yang berpuasa dan memasilitasi buka puasa. Contoh kongkrit ini sudah menjadi bahan rujukan bagi negara-negara non muslim lainnya dengan bertanya bagaimana Indonesia yang begitu majemuk bisa hidup berdampingan dengan rukun. Antara lain hal itu diceritakan oleh Dubes kita untuk negara Ajarbaijan kemarin ketika kami sama-sama buka puasa bersama,” tutur Abdurrahman.
Karena itupula Abdurrahman mengeaskan bahwa Kementerian Agama itu bukan milik satu agama tetapi semua agama yang diakui oleh perundang-undangan yang berlaku. “Di kementerian setiap agama punya perwakilan Pembina masyarakat katolik, budha, Kristen, hindu. Dan kini kami sedang mempersiapkan pembimas Kongfuchu,” ungkap Abdurrahman.
Hal ini pun dibenarkan oleh Badan Puskesbangpol DKI. “Saya hanya ingin menganjurkan kepada seluruh pemuka agama agar selalu mengingatkan umatnya tetap memelihara dan membangun persaudaraan di lingkungannya. Saya juga sangat mengapresiasi upaya FKUB DKI mengembangkan program SABDA. Program ini bisa menjadi perekat antar umat beragama,” tandas DR. Kardiono.
Para panelis yang sudah tampil ini tak sempat lagi menampung berbagai aspirasi maupun pertanyaan dari para peserta dan undangan yang hadir. Karena waktu berbuka puasa telah tiba dan dilanjutkan dengan makan malam bersama serta memberi kesempatan kepada para umat islam melakukan sholat.
Sonar Sihombing- Komsos KAJ