KAJ.or.id – Dalam rangka menutup Tahun Syukur, Gereja Katolik universal telah menetapkan tahun 2016 sebagai Tahun Suci Luar Biasa Kerahiman Allah. Melalui bulla “Misericordiae Vultus” (Wajah Kerahiman), Paus Fransiskus telah memaklumkan dimulainya Tahun Suci sejak 8 Desember 2015 (Pesta Maria dikandung Tanpa Noda) sampai pada 20 November 2016 (Hari Raya Kristus Raja Semesata Alam). Ada 2 buah lukisan yang diangkat oleh Keuskupan Agung Jakarta sebagai simbol penanda Tahun Suci ini, Logo Yubileum Kerahiman Allah Gereja Universal dan lukisan “The Return of The Prodigal Son” karya Rembrandt Harmenszoon van Rijn (1606 – 1669).
Lukisan “Kembalinya si Anak Hilang” karya Rembrandt pernah diulas secara detail oleh Henri J.M. Nouwen (1932 – 1996). Dalam lukisan itu terlihat seorang bapak dengan mantel berwarna merah, membungkuk dan dengan lembut menyentuh bahu seorang anak muda gundul, dan compang-camping yang berlutut di hadapannya. Satu lukisan yang memberikan gambaran yang sangat hidup tentang perjumpaan sang bapa yang menerima kembali si bungsu yang hilang (Luk. 15:11-32). Si bapa tampak renta berjanggut lebat, berdiri membungkukkan badannya yang lemah, menatap si bungsu yang bertelut di kakinya. Matanya terpincing dan terkesan agak buta. Raut wajahnya lega dan teduh. Yang mencolok adalah kedua tangannya yang sedang memegang bahu si bungsu. Tangan kiri tampak begitu kuat dan berotot. Namun tangan kanannya, yang tidak memegang tidak mencengkram, tampak sangat lembut.
Kalau tangan kiri lebih maskulin (unsur animus), maka tangan kanan lebih feminim (unsur anima). Di dalam gambaran sang bapa versi Rembrandt maka ada pelukan ayah dan ibu sekaligus kepada si bungsu. Dan bila kita melambangkan bapa sebagai Allah maka kita akan melihat dua sisi ke-bapa-an dan ke-ibu-an Allah. Gambar tangan maskulin sejajar dengan kaki bungsu yang tertutup, sedangkan tangan feminim sejajar dengan kaki yang terbuka dan terluka. Bisa diartikan satu tangan menguatkan, meneguhkan, dan memampukan serta tangan yang satunya melindungi yang rawan. Begitu juga jubah yang besar dari sang ayah seperti kemah yang menanungi anaknya.
Rembrandt mencoba memaparkan bagaimana kasih Allah dalam metafor seorang bapa pada perumpamaan anak yang hilang ini. Allah yang sebenarnya mau mengampuni dan memaafkan, hanya kita tetap saja terjebak dalam dosa masa lalu sehingga merasa tidak pantas untuk diselamatkan. Namun sebenarnya Sang Bapa tidak peduli akan hal itu, Ia hanya ingin agar kita mau membuka hati untuk jamahan-Nya sehingga Ia dapat menghapus dosa kita. Nouwen mengatakan kita sendirilah yang memutuskan untuk diselamtakan atau tidak, kita sendirilah yang dapat memilih hidup atau mati. Semoga melalui refleksi lukisan ini, kita dimampukan untuk memiliki “keberanian rasuli, kerendahan hati Injili dan doa yang tekun” sehingga dapat kembali hidup dalam kerahiman Allah. + RD. Ant. Yakin.