Kamis, 18 Juni 2015 lalu Paus Fransiskus mengeluarkan ensikliknya mengenai lingkungan hidup. Paus Fransiskus memulai ensikliknya dengan “Kidung Sang Surya”, hymne Santo Fransiskus dari Assisi, biarawan abad ke-13 yang mendedikasikan hidupnya untuk kaum miskin dan yang ditetapkan Gereja Katolik sebagai santo pelindung lingkungan. Surat berisi ajaran otoritatif Gereja itu dimaksudkan untuk memulai kembali pembicaraan global tentang perlindungan “rumah bersama kita” dari ancaman perubahan iklim.
Ensiklik bertajuk ‘Laudato Si’ (Praise Be to You) itu merupakan seruan profetik Paus kepada pemerintah berbagai negara, agama-agama, pelaku bisnis, dan setiap orang untuk bersama-sama berupaya mengatasi tantangan perubahan iklim. Dalam dokumen tersebut Paus menawarkan visi perubahan mengenai relasi manusia dengan alam sekaligus relasi antarmanusia.
Sebagaimana dilakukan paus-paus terdahulu, dalam ‘Laudato Si’ Paus Fransiskus mengutip sumber-sumber otoritatif yang lazim digunakan dalam penulisan ensiklik, seperti kitab suci, ensiklik-ensiklik sebelumnya, dan tulisan orang kudus besar dan berpengaruh.
Namun, berbeda dari para pendahulunya, Paus juga mengutip sumber-sumber yang tidak otoritatif atau yang tidak lazim. Antara lain, ia mengutip pernyataan sejumlah konferensi nasional para uskup serta sumber-sumber dari luar Gereja Katolik, seperti tulisan seorang mistikus Muslim.
Mengacu pada tradisi, sumber otoritatif dalam penulisan sebuah ensiklik terbatas pada ajaran resmi Gereja, yaitu kitab suci, katekismus Gereja Katolik, tulisan orang kudus besar, dan ajaran-ajaran sosial paus sebelumnya. Dalam kaitan itu, catatan kaki pada sebuah ensiklik memainkan peran khas, yakni memberitahukan pembaca tentang kesinambungan atau kesejalanan isi ensiklik tersebut dengan ajaran resmi Gereja.
Pembatasan sumber-sumber otoritatif itu tidak lepas dari pandangan Gereja Katolik tentang kedudukan seorang paus sebagai guru atau pengajar utama doktrin Gereja Katolik serta pembagian peran yang tegas antara guru dan murid.
Dengan kedudukan paus yang istimewa itu, ajaran paus tidak perlu mengacu pada sumber-sumber di bawahnya, pernyataan konferensi nasional para uskup misalnya, apalagi sumber-sumber dari luar Gereja. Selain mengacu pada kitab suci sebagai sumber utama atau tulisan orang kudus berpengaruh, seorang paus hanya perlu mengacu pada ajaran para paus terdahulu, yang berkedudukan setara dengannya.
Tradisi itu ditinggalkan Paus Fransiskus. Sebagaimana terlihat pada catatan kaki Laudato Si’, lebih dari 10 persen dari 172 catatan kaki ensiklik itu berisi kutipan dokumen konferensi nasional para uskup di belasan negara. Terdapat juga kutipan dokumen konferensi regional para uskup di dua wilayah yang paling parah menanggung dampak perubahan iklim, yakni Konferensi Para Uskup Amerika Latin (CELAM) dan Konferensi Para Uskup Asia (FABC).
Paus juga mengutip beberapa pemikir Katolik yang berpengaruh, seperti Romano Guardini dan Teilhard de Chardin. Sementara, pada bagian lain ia mengutip buku berisi pikiran dan refleksi Patriark Bertolomeus, pemimpin Gereja Ortodoks, tentang lingkungan hidup dan perubahan iklim.
Tidak hanya itu. Paus juga menggunakan dokumen PBB serta tulisan seorang mistikus (sufi) Muslim abad ke-19. Adapun, dari sufi bernama Ali al-Khawas itu Paus mengutip konsep tentang makna mistik alam.
Penggunaan referensi atau sumber-sumber tidak lazim ini menyampaikan beberapa hal penting terkait visi Paus Fransiskus. Pertama, dengan mengutip pernyataan konferensi para uskup, Paus Fransiskus membuka pintu bagi otoritas Gereja yang lebih terdesentralisasi. Secara tidak langsung Laudato Si’ merupakan pengakuannya terhadap kompetensi magisterial (mengajar) konferensi atau sinode para uskup, pada level nasional, regional, maupun internasional, dalam pembentukan ajaran sosial Gereja Katolik.
Kedua, Paus Fransiskus memperlihatkan solidaritasnya pada negara-negara miskin dan berkembang yang umumnya ada di belahan bumi bagian selatan. Dengan mengutip pernyataan konferensi para uskup, yang sebagian besar berasal dari negara-negara di belahan selatan, ia membuat “suara dari selatan” lebih didengar di panggung debat global yang cenderung didominasi “suara dari utara”.
Dan ketiga, dengan mengutip pemimpin Gereja Kristen lain dan sufi Muslim, Paus Fransiskus mendorong dialog ekumenis dan antariman mengenai spiritualitas bersama agama-agama. Sekaligus dengan cara itu ia mengundang semua orang untuk mengatasi dan keluar dari diri/kelompok sendiri demi meningkatkan kualitas relasi dengan siapapun sekaligus dengan alam dan Pencipta. (sumber: Time, Cruxnow, America Magazine, & NotaNostra)
sangat baik. inilah suara kenabian pada zamannya dan visi relasi ekumenis yg terwujud dalam tindakan nyata/konkrit. pesannya wajib dipahami, diikuti,diwujudkan secara nyata dan bersama oleh Gereja pada tataran akar rumput.