Kurangnya pemahaman akan ajaran agama dan maraknya ketidakadilan pemicu utama kekerasan atas nama agama. Kesimpulan itu terungkap dalam serasehan Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) Provinsi DKI Jaya bersama umat katolik Keuskupan Agung Jakarta (KAJ). Serasehan yang berlasung di Paroki St. Yakobus Kelapa Gading Jakarta 18 April 2015 mengambil tema “Kekerasan Atas Nama Agama.” Tampil sebagai narasumber Vikjen KAJ Rm.Samuel Pangestu mewakili uskup dan Ketua FKUB Provinsi DKI Prof. Dr. Kiyai Ahmad Syafi’i Mufid yang dimoderatori Rm. Antonius Sayadi, perwakilan KAJ di FKUB Provinsi DKI. Sedangkan peserta serasehan adalah para pimpinan FKUB wilayah (Jakarta Timur, Barat, Utara, Selatan dan Kepulauan Seribu) dan para perwakilan agama-agama serta Komisi HAAK (Hubungan Antar Agama dan Kemasyarakatan) KAJ dan para pegiat di seksi HAAK paroki-paroki se-KAJ.
Kiyai Ahmad Syafi’i mengatakan memang masih sering terjadi kekerasan atas nama agama meskipun pertemuan dan dialog seperti ini rutin kita lakukan. “Namun bukan berarti bahwa pertemuan rutin FKUB seperti ini tidak ada artinya. Dengan pertemuan seperti ini kita terus merawat dan memelihara berkembangnya dialog-dialog sehingga bisa menumbuhkan saling pemahaman antar umat beragama dan memudahkan komunikasi. Kita akan terus upayakan agar dialog seperti ini tidak hanya di tataran elit saja tetapi harus sampai ke akar rumput,” ungkapnya. Untuk itu Kiyai Syafi’i meminta agar setiap wilayah FKUB melaksanakan hal serupa di wilayahnya masing-masing hingga ke tataran RW dan RT. Menanggapi hal ini, Rm. Antonius Suyadi mengatakan agar setiap umat di lingkungan tempat tinggal masing-masing membina hubungan baik dengan minimal 10 keluarga di samping kiri-kanan dan depan-belakang rumahnya.
Kiyai Ahmad Syafi’I mengemukakan ada dua pandangan mengenai kekerasan atas nama agama. Pandangan pertama mengatakan bahwa kekerasan atas nama agama itu merupakan rekayasa pihak tertentu dengan tujuan tertentu pula. “Ini yang biasa disebut teori konspirasi,” ungkap Syafi’i. Pandangan lain mengatakan bahwa adanya salah tafsir atas ajaran agama sehingga seolah-olah agama membenarkan kekerasan seperti tafsir atas jihad. “Hal ini terjadi karena terjadinya ketidakadilan sehingga orang mulai mencari dalil-dalil agama yang dijadikan idiologi untuk membenarkan mereka melakukan perlawanan dengan berbagai kekerasan,” lanjut Syafi’i.
Lebih tegasnya Rm. Samuel mengatakan kekerasan atas nama agama ini terjadi karena tidak meratanya kesempatan orang mengenyam pendidikan. “Sehingga terjadi keterbelakangan dan salah tafsir ajaran agama,” jelasnya. Faktor pemicu lainnya adalah tidak adilnya pembangunan ekonomi. Hal ini membawa konsekuensi maraknya pengangguran, kemiskinan baik di kota maupun di desa. “Saya sangat setuju dengan hadirnya program BPJS dari negara. Tetapi hal ini tidak menyelesaikan masalah karena sifatnya kuratif. Akan jauh lebih bermakna kalau sifatnya preventif,” tandas Rm. Samuel.
Karena itu Rm. Samuel mendorong semua pihak agar menumbuhkan “budaya kita” dan “budaya kasih persaudaraan”. “Saya melihat dengan bertumbuhannya Jakarta menjadi kota megapolitan membuat orang jadi anonym, kehilangan jati diri, menjadi orang yang sangat egois dan individualis,” jelasnya. Sehingga relasi masyarakat yang dulunya penuh kekerabatan berubah menjadi “elu-elu gue-gue dan tidak peduli satu sama lain. Karena itu Rm. Samuel mengajak semua pihak mengembangkan “budaya kita” dalam arti sehati sepenanggungan, persoalanku adalah persoalanmu, bahagiaku bahagiamu. Semua pihak perlu bahu membahu dengan pemerintah melakukan pembangunan ekonomi dan pendidikan. “Perlu mendirikan sekolah berkualitas untuk mendapatkan pendidikan intelektual yang bagus, budi pekerti (karakter), pendidikan hidup dan lingkungan sehat dan mendapat asupan gizi sehat. Juga saya usulkan agar didirikan Balai Latihan Kerja (BLK) berkualitas untuk mendukung berkembangnya ekonomi kreatif di masyarakat luas,” ungkap Rm. Samuel.
Di sisi lain Rm. Samuel melihat perlu dikembangkan budaya kasih persaudaraan melalui keluarga. “Karena kekerasan terjadi karena seseorang kurang mendapatkan perhatian, cinta kasih serta kepedulian. Inilah kemiskinan paling merasuk di jaman modern,” ungkapnya mengutip pernyataan Mother Theresa dari Calcutta. Pendidikan budaya kasih dan persaudaraan harus dimulai dari keluarga.
Sonar Sihombing
KOMSOS KAJ