Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) mensupport revisi UU Perkawinan yang menyebutkan perkawinan sah bila dikerjakan menurut hukum semasing agama serta kepecayaan.
“Penting digarisbawahi bahwa siapa saja juga tak dapat memaksakan seorang untuk berpindah agama supaya dapat menikah dengan pasangannya yang lain agama”, kata Romo Yohanes Purbo Tamtomo dari KWI waktu berikan kesaksian sebagai Saksi Ahli dalam sidang sengkata UU Perkawinan dihadapan majelis hakim Mahkamah Konstitusi, Senin (24/11/2014).
Pasal 2 ayat I dari UU ini yang digugat oleh oleh 4 mahasiswa Kampus Indonesia, menyebutkan, “Perkawinan yaitu sah, jika dikerjakan menurut hukum semasing agamanya serta kepercayaannya itu”, dikira berimplikasi pada tak sahnya perkawinan yang dikerjakan diluar hukum semasing agama serta keyakinan.
Damian Agata Yuvens, salah satu mahasiswa menyebutkan, bunyi ayat itu tunjukkan bahwa negara memaksa supaya tiap-tiap warga negaranya untuk mematuhi hukum agama serta keyakinan semasing dalam perkawinan.
Mereka meminta MK memberi pemaknaan baru pada ketetapan itu dengan menyebutkan bahwa perkawinan yaitu sah jika dikerjakan menurut hukum semasing agama, selama ketentuan sah itu diserahkan pada penilaian semasing agama.
Dalam keterangannya Romo Purbo menyebutkan, UU ini menjadikan orang susah untuk menikah bila pasangan berbeda agama.
Ia menuturkan, isi serta rumusan pasal 2 ayat 1 mesti disimpulkan bahwa dalam rencana perkawinan butuh dijunjung tinggi dua hak mendasar dari tiap-tiap pribadi yakni kebebasan hati nurani untuk memilih pegangan hidup (agama) serta hak untuk menikah.
“Tidak bisa apabila dua hal ini bertemu, maka lalu menyebabkan salah satu mesti dikorbankan. Dalam soal perkawinan ketetapan yang berlaku mesti memungkinakn dua hal itu terus dihormati serta dibela, ” tegasnya.
Selesai sidang, Romo Purbo menyampaikan, pada prinsipanya, KWI akan mengutamakan penghormatan pada HAM.
“Kita pada intinya tidak ingin, bahwa agama menghambat orang untuk menikah, bahkan juga ada yang tidak ingin menikah cuma lantaran berbeda agama. Itu pengalaman riil yang kita temui”.
“Justru bila kita memaksa beda agama yang menikah dengan orang Katolik untuk masuk menjadi Katolik, itu bertentangan dengan kepercayaan kami, bahwa pilihan agama adalah hak asasi”, tuturnya.
Ia menyatakan, pengalaman bahwa sampai kini banyak orang Katolik yang nikah beda agama.
“Dan sangat banyak dari mereka yang membina rumah tangga dengan baik. Hal semacam itu juga merupakan argumen Gereja untuk menerima pernikahan beda agama, ” tuturnya.
“Justru lantaran banyak maka dari itu kami terasa bahwa kesusahan ini mesti dibantu, ” tuturnya.
Tetapi, yang pasti, tuturnya, Gereja Katolik, terus mengingatkan tiap-tiap pasangan yang lain agama untuk mulai sejak awal pikirkan seluruhnya konsekwensi saat sebelum menikah, termasuk juga bagaimanakah mereka berikan pendidikan iman untuk anak-anak.
“Mereka harus pikirkan apa yang paling baik untuk anaknya. Kerap dalam soal ini yang diperlukan adalah keterbukaan serta perbincangan berdua”, tuturnya.
Tetapi, ia menyatakan, Gereja Katolik tak mewajibkan anak-anak dari orang Katolik yang nikah lain agama, masuk Katolik.
“Itu bergantung dari perbincangan orangtua mereka. Yang kami tuntut yaitu orang-tua bertanggungjawab atas pendidikan iman anak-anak mereka. Apabila anak mereka tak masuk Katolik, tak bermakna mereka tak melakukan tanggung jwab, atau sebaliknya”, tuturnya.
Ia menuturkan, untuk menjamin supaya suatu perkawinan sukses, jadi aspek kualitas pribadi sangatlah utama.
“Pada saat orangnya sunggguh-sunggguh masak memutuskan, jadi pilihannya menikah lain agama, bukanlah juga sebagai kendala, namun bakal dipandang juga sebagai kekayaan untuk sama-sama melengkapi, anugerah untuk sama-sama melengkapi”, tuturnya.
Sikap sama juga nampak dari Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin), yang membolehkan pernikahan lain agama.
“Perbedaan memahami, kelompok, bangsa, budaya, etnis, sosial, politik ataupun agama tak jadi penghalang dilangsungkannya perkawinan”, kata Uung Sendana Linggaraja dari Matakin.
Tetapi, terang dia, untuk yang menikah lain agama, akan tidak dikerjakan tata upacara perkawinan atau Li Yuan, seperti ada pada Konghucu, namun cuma pemberian restu juga sebagai pernyataan serta pemberitahuan sudah dikerjakannya perkawinan.
Sidang di MK pada hari ini merupakan kelanjutan dari sidang sebelumnya, yang mendengar sikap dari masing-masing Saksi Ahli agama-agama.
Dalam sidang pada 5 November, perwakilan dari Majelis Ulama Indonesia menyebutkan sikap tegas menampik pernikahan lain agama.
Bisakah pihak Keuskupan Agung memberikan penjelasan atas artikel tanggapan resmi KWI yang mengatakan Pelarangan pernikahan berbeda agama merupakan pelanggaran hak asasi manusia ? Hal ini saya pertanyakan oleh karena bukankah Gereja Katolik secara resmi melarang pernikahan beda agama ? Atau apakah tanggapan itu merupakan tanggapan pribadi Romo Yohanes Purbo Tantomo. Sungguh membingungkan ! Terima kasih.
Orang yg beriman adalah orang yg percaya akan kuasa dan kehendak Allah, dan tdk akan pernah mempermasalahkan jalan meuju kepada-Nya yaitu “Agama”. Hanya mereka yg merasa dirinya “Imam” lah yg selalu menjadi orang yg paling benar utk mempermasalankan “Jalan” itu. Bacalah Markus 9 : 38-41 atau Lukas 9 : 49-50.