Kian meningkatnya kasus kekerasan terhadap kelompok minoritas dalam empat bulan terakhir, merupakan peringatan bahwa Indonesia saat ini dalam kondisi darurat kekerasan terhadap keberagaman.
“Apabila pemerintah tidak segera melindungi kelompok minoritas, negara kita akan hancur,” kata Direktur Eksekutif Human Rights Working Group (HRWG), Rafendi Djamin, kepada SH, sesaat setelah Konferensi Pers Keprihatinan Pelapor Khusus Dewan HAM PBB tentang Kebebasan Berkumpul Minoritas Agama di Indonesia, di kantornya di Jakarta, Selasa (10/6).
Ia menegaskan, sejak didirikan pada 1945, hakikat Indonesia adalah negara kebinekaan. Apabila, penghargaan terhadap perbedaan dan keberagaman tidak ada lagi, otomatis Indonesia tidak lagi eksis karena telah kehilangan hal yang paling hakiki.
“Ingat, negara kita dibangun berdasarkan Pancasila, yang menjunjung tinggi penghargaan terhadap perbedaan dan keberagaman,” ujar Rafendi.
Perlindungan Minim
Menurutnya, perlindungan pemerintah yang minim terhadap kelompok minoritas telah makin menyuburkan tumbuhnya kelompok intoleransi, bahkan kelompok-kelompok yang menggunakan kekerasan.
Ia mencontohkan, kekerasan terhadap kelompok minoritas yang terjadi hingga enam kali dalam satu bulan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Mei 2014. Rafendi menyesalkan tindakan intoleran oleh sekelompok massa terhadap sejumlah kaum minoritas di DIY tersebut tidak ditindaklanjuti dengan serius oleh pemerintah setempat.
Ia mencontohkan pernyataan antipluralisme dari seorang tokoh muslim di Yogyakarta baru-baru ini, yang tidak mendapat tanggapan serius dari pemerintah setempat. Kondisi tersebut, menurutnya, sangat mengkhawatirkan karena gerakan antipluralisme dapat menghancurkan Indonesia.
“Gerakan antipluralisme adalah gerakan anti-Indonesia. Jadi, pemerintah jangan diam saja,” ujar Rafendi.
Selain itu, HRWG menanggapi keprihatinan Pelapor Khusus Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Maina Kiai, tentang kondisi kebebasan berkumpul minoritas agama di Indonesia yang tidak dijamin negara. Untuk itu, HRWG mengimbau pemerintah yang masih memiliki waktu tiga bulan lagi sebelum melepaskan jabatan agar membuat langkah konkret untuk melindungi kaum minoritas.
Pemerintah, terutama Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri, dan pejabat-pejabat penegak hukum agar menanggapi serius masalah kebebasan beragama. Kementerian dan lembaga terkait harus serius menjamin dan melindungi kebebasan beragama dan berorganisasi bagi kelompok-kelompok minoritas.
“Harus ada sense of urgency bahwa situasi darurat harus ditangani dengan cepat. Nah, itu yang belum ada sampai sekarang,” kata Rafendi.
Pernyataan Sikap
Menanggapi maraknya kekerasan pada Mei di DIY, Direktur Eksekutif Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen (JKLPK) Indonesia, Woro Wahyuningtyas mengatakan, JKLPK baru saja menyerukan sebuah pernyataan sikap. Pernyataan sikap tersebut berisi seruan agar pemerintah menjalankan tugasnya secara sungguh-sungguh melindungi warga negaranya, terutama kaum minoritas, termasuk di DIY.
“Kita semua mengenal DIY sebagai daerah yang sangat toleran, mampu menampung semua golongan suku, agama, dan penganut kepercayaan,” kata Woro, akhir pekan lalu.
DIY, menurutnya, juga menjadi barometer kedamaian dan toleransi bagi bangsa Indonesia. Ia menyayangkan saat kondisi ini terkoyak dengan maraknya kekerasan berbasis agama, bahkan dalam sebulan terjadi hingga enam kasus kekerasan di wilayah ini.
“Perlu kita pertanyakan, masihkah DIY bisa kita sebut sebagai daerah toleran? Apa sikap negara terhadap kasus ini?” ucapnya.
Woro, dalam keterangan persnya beberapa hari sebelumnya menyebutkan, telah terjadi enam kekerasan berbasis agama di DIY selama Mei 2014. Kejadian tersebut antara lain berupa intimidasi dan kekerasan yang dialami Ketua Forum Lintas Iman Gunung Kidul, Amiludin Azis; penghambatan Paskah Adiyuswa (lanjut usial lansia) Sinode Gereja Kristen Jawa (GKJ) di Gunung Kidul; serta kekerasan fisik pada umat yang sedang beribadah di Sleman. “Di mana kehadiran negara dalam situasi seperti ini?” ujarnya. (Indonesia.Ucanews.com)
bukan apatis, tetapi tak berharap pada penuntasan aparat. Militansi Kasih Nya perlindungan kita. menurut saya, kasihan mereka karena tidak tahu apa yang dilakukannya
Bhineka tunggal bhineka,berbeda beda tetap beda juga…