PADA tahun ini umat Kristiani di Indonesia merayakan Paskah ketika bangsa Indonesia menjalani tahun politik. Kita semua berharap bahwa dengan terpilihnya para wakil rakyat yang baru dan pemimpin pemerintahan yang baru, bangsa Indonesia mampu masuk ke dalam dinamika baru transformasi kehidupan religius, sosial, budaya, politik, dan ekonomi menuju terwujudnya cita-cita bersama sebagai bangsa.
Pesan Paskah adalah pesan pembaruan, transformasi seluruh segi kehidupan manusia. Demi transformasi itulah Yesus akhirnya dihukum mati. Pada zamannya ada ribuan orang yang dijatuhi hukuman mati di salib karena dituduh melawan pemerintahan penjajah.
Apakah itu berarti bahwa Yesus pun dituduh merencanakan pemberontakan melawan penjajah? Ada alasan yang bisa membuat orang berpikir seperti itu. Salah seorang muridnya yang bernama Simon disebut orang Zelot. Kaum Zelot dikenal sebagai kelompok yang, dengan alasan politik-keagamaan, terus melakukan perlawanan bersenjata untuk mengusir penjajah. Akan tetapi, rupanya bukanlah alasan ini yang membawa Yesus pada kematian.
Dalam pengadilan, Pilatus yang mewakili pemerintah penjajah menyatakan, seperti yang tersua dalam Injil Lukas, ”Aku tidak mendapati kesalahan apa pun pada orang ini.”
Kemerdekaan yang sejati
Sebagai bagian dari bangsanya yang sedang dijajah, Yesus mendambakan kemerdekaan yang sejati, yang jauh lebih utuh daripada kemerdekaan dari penjajahan. Kerinduan akan kemerdekaan itu diungkapkan dalam berbagai madah, sebagaimana yang dapat kita baca dalam Injil Lukas : kelepasan, pembebasan, keselamatan dari musuh dan orang yang membenci agar bebas dari tangan musuh dan dapat beribadah tanpa takut.
Untuk sampai pada kemerdekaan yang sejati itu, Ia mengajak masyarakatnya melihat dan membaca tanda-tanda zaman. Tanda-tanda zaman jelas menunjukkan bahwa bangsanya sedang menuju kehancuran: bait Allah akan dihancurkan, kota suci akan runtuh.
Dalam kegalauan melihat masa depan itu, Yesus berkata, ”Wahai, betapa baiknya jika pada hari ini juga engkau mengerti apa yang perlu untuk damai sejahteramu.”
Alasan dasar yang membuat sejarah bangsanya menuju kehancuran adalah karena kelompok-kelompok di dalam bangsanya menganut dan memaksakan agama yang tanpa belas kasih. Keyakinan keagamaan seperti itu menindas dan berdampak buruk pada seluruh segi kehidupan, sosial, politik, dan ekonomi.
Kelompok Zelot, karena merasa harus menjaga hukum Allah, sampai hati membunuh saudara-saudara sebangsanya yang mereka anggap tidak setia pada hukum. Mereka ingin mengikuti contoh Pinehas, seperti yang terungkap dalam Kitab Bilangan, yang setelah membunuh saudara sebangsanya dipuji karena semangat keagamaannya. Rasa benci kelompok Esseni terhadap orang yang bukan dari kelompoknya juga didorong rasa keagamaan.
Demikian juga kelompok Farisi menyebut saudara-saudara sebangsa terkutuk, sebagaimana yang tercatat dalam Injil Yohanes, karena fanatisme keagamaan. Dengan kata-kata dan tindakan-tindakannya, Yesus mempertanyakan serta menjungkirbalikkan pendapat dan pelaksanaan hidup beragama umum yang dianggap benar dan adil itu. Ia menyatakan bahwa agama seperti itu tidak menyatakan belas kasih Allah dan, oleh karena itu, bertentangan dengan hakikat agama itu sendiri. Itulah sebabnya Yesus sering bertengkar dengan para pemimpin agama pada waktu itu.
Dengan kata lain, alasan awal yang membawa Yesus pada kematian adalah kritiknya terhadap agama yang sudah menjadi beku tanpa belas kasih. Yesus ingin mentransformasi kehidupan dengan mencairkan kembali agama yang beku itu dengan mengembalikan belas kasih yang menjadi hakikatnya karena Allah adalah Kasih. Demi dan dalam kasih itulah ia rela mati di salib dan, dengan demikian, menyatakan Allah Sang Kasih.
Agama yang diperalat
Selama hidupnya di depan umum Yesus sering bertengkar dengan orang-orang Farisi dan para ahli Kitab. Namun, ternyata pada akhirnya yang paling depan menuntut kematiannya adalah para imam. Mewakili mereka, Kayafas mengatakan bahwa lebih berguna satu orang mati untuk seluruh bangsa. Mereka adalah kelompok keagamaan yang mempunyai tanggung jawab khusus di bait suci. Rupanya tugas suci itu pun dijadikan kesempatan mengeruk untung dengan monopoli dagang hewan korban dan penukaran uang di bait suci. Lagi-lagi agama yang suci direndahkan dan disalahgunakan menjadi alat dagang dengan memanipulasi kebaktian dan kesalehan orang.
Berhadapan dengan ini, untuk memulihkan kemuliaan agama Yesus tidak hanya berkata-kata, tetapi juga melakukan tindakan yang dianggap menyerang kepentingan mereka, yaitu menyucikan bait suci. Karena itulah, seperti tersua dalam Injil Matius, ia harus mati.
Menjelang pemilu legislatif, Konferensi Waligereja Indonesia mengeluarkan Surat Gembala menyambut Pemilu Legislatif 2014. Salah satu anjuran pokok yang disampaikan adalah agar para pemilih menjatuhkan pilihannya kepada calon atau partai yang jelas menjaga dan berjuang mengamalkan nilai-nilai Pancasila.
Sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan memilih orang serta partai yang jelas dan konsisten memperjuangkan nilai-nilai Pancasila, kita berharap agar pemimpin dan kekuatan politik yang terpilih memastikan bahwa keimanan kita akan Tuhan Yang Maha Esa menjadi daya transformatif bagi seluruh segi kehidupan yang dirumuskan dalam keempat sila yang lain. Kalau ini terjadi, dalam keyakinan iman, inilah makna Paskah yang nyata dalam kehidupan bangsa. Selamat Paskah.
I Suharyo, Uskup Keuskupan Agung Jakarta
Kompas, Sabtu 19 April 2014