Yang dinanti akhirnya tiba. Paus Fransiskus mengeluarkan ensiklik bertajuk Lumen Fidei (Terang Iman). Paus sendiri menyebut, ensiklik ini ditulis dengan empat tangan –karena ditulis bersama Paus Emeritus Benediktus XVI. Pesan penting apa dari ensiklik yang bernas ini? Kita mencoba mengiris satu hal: jejak sejarahnya.
Sekularisme dan Relativisme
Tak dipungkiri Benediktus XVI adalah sosok yang secara konsisten mengingatkan bahaya kediktatoran sekularisme dan relativisme. Di sini, sekularisme dimengerti sebagai sikap anti-agama dan lebih-lebih sikap menampik apapun yang berbau adiduniawi. Relativisme adalah sikap menolak apapun yang absolut, termasuk kebenaran.
Lumen Fidei menjadi paparan bercorak dialektis antara iman dan modernitas. Bapa Suci konsisten memilih model dialog dengan pemikiran dan paham masa kini, untuk mengelaborasi pentingnya posisi teologis yang kukuh di hadapan takhta pengadilan terhadap agama. Hal yang patut diapresiasi di tengah dua sikap ekstrim: mengurung diri dalam kejumudan atau menjadi fundamentalis yang fatalistik.
Jika mundur sejenak, kita akan mendapati benang merah sejarah. Sejak abad XIX, Barat digempur semangat anti-agama. Diawali Feurbach yang membalik refleksi terhadap yang Ilahi menjadi yang manusiawi, Karl Marx yang skeptis terhadap visi pembebasan agama, hingga Friedrich Nietzsche yang mewartakan kematian Tuhan dan bangkrutnya kristianitas. Lonceng kematian agama berdentang.
Dalam situasi ini, Gereja Katolik kerapkali tak cukup tegar. Konsili Vatikan II (KV II) adalah puncak sintesis yang mencerminkan kemendesakan akut. Gereja ditantang untuk bersikap tegas: bertahan dalam cangkang keterpurukan yang mengerdilkan atau keluar dan berani hidup di tapal batas yang menantang.
Ketika pilihan jatuh pada yang terakhir, corak dialektis itu tetap terpelihara. Gereja menegaskan pentingnya mempertahankan relasinya dengan masa lalu (ressourcement) sekaligus merevitalisasi diri selaras dengan tantangan kekinian (aggiornamento).
Dua Jejak KV II
Robin Young mengumpamakan Lumen Fidei dengan karya Igor Stravinsky Five Easy Pieces/ Four Hands, memainkan melodi berbeda dengan dua instrumen. Cukup pasti Lumen Fidei sebagian besar ditulis oleh Benediktus XVI. Paus Emeritus ini menyusun ensiklik yang sangat kaya bertema keutamaan teologis: kasih (Deus Caritas Est), iman (Spe Salvi), dan harapan (Lumen Fidei).
Napak tilas St Agustinus, pendahulu yang amat dikagumi, Benediktus XVI punya penekanan kuat pada dimensi batiniah iman. Pembedaannya khas: “kota Allah” dan “kota dunia”, rahmat Allah dan upaya manusia, tegangan kebenaran melawan kesesatan. Gereja adalah peziarah yang butuh orientasi kuat pada yang transenden melalui penguasaan keutamaan teologis: kasih, iman, dan harapan.
Terang imanlah yang memandu perjalanan itu. Itulah proyek pembaruan Benediktus XVI di atas jejak Agustinus –via ad fontes, kembali ke sumber, mereguk inspirasi dan daya hidup– melawan sekularisme dan relativisme.
Di sisi lain, Fransiskus menyiratkan jejak lain. Alih-alih mengikuti pendahulunya, ia lebih menekankan sisi lahiriah iman, dimensi praksis. Bagian akhir Lumen Fidei menunjukkan goresan tangannya:
”Sungguhkah terang iman justru menjadikan kita abai pada penderitaan dunia. Berapa banyak umat beriman menemukan pengantara terang pada mereka yang menderita! Justru itulah yang dilakukan St Fransiskus Asisi pada penderita lepra dan Bunda Teresa dari Kalkuta pada kaum miskin-papa.”
Jika Benediktus XVI memberikan penekanan pada “kediktatoran sekularisme”, Fransiskus sebaliknya menyoroti “globalisasi sikap tak acuh”. Kaum sekular, relativis, anti-agama, dan penolak warta Injil adalah sasaran Benediktus XVI.
Fransiskus menyebut mereka sebagai yang beku hati dan mudah puas. Benediktus XVI menawarkan dialog rasional yang jujur, sementara Fransiskus mendorong perjumpaan melalui tatapan, sapaan, dan jabat tangan. Sekilas keduanya memilih jalan yang berbeda, tapi sejatinya keduanya menampilkan dua jejak KV II. Dua jejak yang harus terus dihidupi.
(Sumber: http://www.hidupkatolik.com/)