Beberapa waktu lalu Tempo.co melansir sebuah berita mengenai hasil riset menyangkut negara berpenduduk paling bahagia di dunia. Ini merupakan hasil polling terhadap 150.000 orang dari 148 negara yang hasilnya diumumkan 19 Desember 2012 lalu. Kepada mereka diajukan 5 pertanyaan apakah mereka cukup istirahat, diperlakukan sopan, banyak senyum atau tertawa, belajar atau melakukan hal-hal yang menarik, serta merasa gembira di hari sebelumnya. Jawaban mereka ini dianggap merepresentasikan kegembiraan (kebahagiaan) hidup bila menjawab ya.
Terungkap 7 dari 10 negara yang penduduknya paling gembira (bahagia) dibumi berasal dari Amerika Latin. Jadi mereka tidak tinggal di Qatar negara terkaya. Mereka juga tidak di Kanada yang memiliki penduduk berpendidikan sarjana tertinggi. Mereka juga bukan di Jepang yang memiliki usia hidup paling tinggi. Juga tidak di Prancis, Jerman dan Amerika Serikat negara modern. Bahkan bukan juga di Singapura yang menduduki urutan paling buncit.
Ketujuh negara Amerika Latin ini tentu saja jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara maju. Malah mereka tergolong miskin. Guatemala misalnya. Puluhan tahun dirobek perang saudara. “Tetapi di Guatemala, budaya persahabatan menyebabkan orang selalu tersenyum,” kata Luz Castillo, pelatih selancar angin berusia 30-an tahun. “Kami dikelilingi oleh alam yang indah, yang memungkin kami mengabaikan semua masalah yang tengah kami hadapi.”
Bagi saya yang menarik hidup paling bahagia dan bersahabat (bersaudara) ada di negara-negara Amerika Latin. Amerika Latin adalah basis utama umat Katolik dewasa ini.
Robert J. Barro dan Rachel M. McClerry yaitu Guru besar Harvard University dan Senior Reseach Fellow pada Kennedy School of Government Harvard University yang menyatakan wajar kalau paus baru dari Amerika Latin yaitu Paus Fransiskus dari Argentina. Sebab menurut mereka saat ini di Amerika Latin bermukim hampir setengah dari jumlah keseluruhan umat katolik dunia. Tepatnya 44 persen umat Katolik dunia dewasa ini berada di Amerika Latin bukan di Eropa lagi.
Lantas hubungannya dengan kita? Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) telah menetapkan tahun 2013 ini sebagai tahun persaudaraan (tahun persahabatan). Apa yang membuat negara-negara di Amerika Latin hidup bahagia walaupun tidak kaya? Salah satunya adalah kebiasaan mereka memberi senyum kepada orang lain karena dianggap sebagai sahabat (saudara).
Hidup dalam persaudaraan (Persahabatan) Sejati merupakan sebuah jaminan kebahagiaan. Hidup Dalam Perasudaraan Sejati ini pula yang diperdalam para pegiat Komisi-Komisi dan Pemikat KAJ pada Hari Studi 6/4, lalu. Dalam makalahnya Rm. DR. Martin Harun, OFM memberikan makna luas dan biblis persaudaraan serta syarat melanggengkan persaudaraan sejati di komunitas dan akhirnya memancar keluar menjadi universal dan kosmis.
Persaudaraan adalah pesta pengampunan. Hanya dengan semangat mengampuni dan diampuni persaudaraan sejati dapat hadir langgeng. “Tidak ada saudara yang menganggap dirinya lebih benar dari saudara yang kurang atau berbuat salah. Kalau ada saudara yang bersalah, maka kita harus lebih dahulu mengoreksi diri apa salah kita kepada saudara itu. Kemudian sebagai tanggungjawab kita kepada saudara kita ingatkan dia empat mata dan bukan dicacimaki dan dimarahi. Sebab setiap orang yang marah dan mengatakan “Kafir” dan “Jahil” kepada saudaranya patut mendapat hukuman berat (Mat.5:22). Memaafkan saudara harus berlangsung tujuhpuluh kali tujuh, tidak terbatas,” tulisnya.
Menyadari, menyesali dan kemudian meminta maaf atas kesalahan diri sendiri adalah langkah paling awal dalam memelihara hidup persaudaraan sejati. “Bapa-Ku yang di sorga akan berbuat demikian juga terhadap kamu, apabila kamu masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu” (Mt 18:35).
Jadi menurut Yesus, hidup dalam persaudaraan sejati sangat berkaitan dengan menyadari, menyesali dan menangai kekurangan diri sendiri dan dengan dengan sikap itu berusaha menyadarkan dan mengampuni saudara. Jadi persaudaraan adalah “pesta pengampunan” (fête du pardon) seperti ditulis oleh Jean Vanier, seorang pendekar utama hidup persaudaraan masa kini.
Persaudaraan sejati yang telah hidup dan menghidupi komunitas kita akhirnya juga akan mentransendensi dirinya dalam kasih (agapè) yang sungguh-sungguh tanpa pamrih. Sehingga kasih persaudaraan di dalam jemaat akan membuat kita juga mampu mengasihi mereka yang masih di luar jalinan kasih jemaat. Ini menjadi tujuan hidup kristiani juga.
“Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian?” (Mat 5:46?47). Kasih tanpa pamrih yang melampau batas sesama umat, diilustrasikan Yesus dalam kisah seorang Samaria yang menunjukkan belas kasih yang universal (Luk 10:25?37). Jelas bahwa berkembangnya faham modern tentang kasih dan persaudaraan yang universal berkembang dari benih-benih ajaran Yesus.
Selain mampu hidup dalam persaudaraaan sejati dengan sesama manusia secara universal, kita juga dituntut hidup bersahabat dengan alam lingkungan kita. Memang hal ini tidak ada dibahas dalam Kitab Suci. Tetapi St. Fransiskus dari Asisi menyadari bahwa semua yang ada di alam semesta ini adalah sesama ciptaan Tuhan. Karena itu Fransiskus menyapa mereka sebagai saudara dan saudari yang sama-sama menghadirkan kemuliaan Tuhan. Fransiskus tidak menganggap dirinya lebih tinggi dari ciptaan lain sehingga bisa sesukahati memperlakukan mereka.
Belajar untuk bersaudara dengan alam dan segala makhluk kini semakin mendesak, sebab alam yang pernah mengancam, kini makin lemah dan rapuh dibandingkan dengan manusia yang bertambah kuat karena ilmu dan tehniknya.
Menerima alam serta segala makhluknya sebagai saudara akan mengurangi ketakutan kita terhadap alam dan juga akan mengikis perampasan dan pencemaran kita terhadap alam.
Seorang tidak akan mengeruk habis-habisan apa yang diakuinya sebagai ciptaan Tuhan yang penuh perlambangan. Seorang tidak akan menuangkan cairan beracun ke dalam air kali yang ia hargai sebagai saudarinya, atau membuang sampah ke tanah yang ia hormati sebagai ibu pertiwinya.
Sebagai kesimpulan, menurut Perjanjian Baru kita dilahirkan kembali menjadi anak Bapa, saudara Kristus, dan saudara satu sama lain di dalam jemaat kristen. Kasih persaudaraan kristiani itu melintasi batas-batas marga, jender, bangsa dan golongan sebab terwujud dalam usaha melakukan kehendak Bapa dan dipertahankan dalam saling minta dan memberi maaf dalam kegagalan.
Kasih persaudaraan kristiani yang khusus ini menjadi landasan untuk tindakan kasih terhadap semua manusia, hal mana pada zaman modern lazim disebut sebagai kasih dan persaudaraan universal. Sejak Fransiskus Asisi persaudaraan universal ditantang pula untuk menjadi persaudaraan kosmis.
Sonar Sihombing.
Cita 2 yg. sangat bagus ini baru sekedar harapan yg. amat sangat sulit untuk dinikmati, apalagi pihak executive cuma ‘ngoceh’ saja tidak ada kemauan berdasar pilar 2 cita 2 berdasar kesepakatan pendiri 2 N.K.R.I. ytc. ini.Coba kita simak SK bersama 2 menteri thn 1967 diperberat dg. SKbersama 3 menteri thn 1997 soal IMB tempat ibadah. Saran : mhn. digalakkan dialog antar umat beragama, terima kasih
Pernyataan tentang masyarakat/umat yang (paling?) bahagia tidak relevan di expose, sebaiknya di survai masyarakat yang merasakan tidak bahagia dan penting dicatat mengapa mereka tidak bahagia. Bencana yang menjadikan mereka tidak bahagia atau ” menyebarkan ketidak kebahagiaan” disurvai saja.
Sebenarnya kalau sadar :masyarakat yang menyebarkan dia “tidak bahagiaan” dan yang menyebarkan umat “menderita kesedihan” bisa diidentifikasi.Mereka yang memiliki peluang menyebar ” segala macam perang”
Idea KAJ mengenai penyebar luasan persaudaraan, berbelarasa dsb, apa bisa pernah dimonitor langkah /hasil langkahnya. Cek apa Paroki yang fungsionaris nya “jalan, ngerti jalannya”. Tidak sedikit pamong/ gembalanya ya nggak tahu membaca “pesan” itu, belum pernah lihat Official Website KAJ. Kenalkak FB, YAHOO dll. Ma’af.