Seperti tahun-tahun sebelumnya, pada hari menjelang Perayaan Kamis Putih (pagi harinya) diadakan misa bersama di Gereja Katedral Jakarta. Misa dipimpin secara konselebran oleh Uskup Agung Jakarta, Mgr. Ignatius Suharyo, Pr (28/3).
Misa ini dihadiri oleh ratusan imam (pastor) Katolik di Keuskupan Agung Jakarta dan juga ribuan umat Katolik. Dalam kesempatan ini, para pastor membarui Janji Imamat mereka. Selain pembaruan janji, ada juga pemberkatan minyak untuk pelayanan sakramen seperti minyak Krisma (sacrum chrisma) yang digunakan untuk memberkati para baptisan, tahbisan diakonat, tahbisan imamat, tahbisan uskup, dan sakramen krisma, minyak Katekumen (oleum catecumenorum) untuk memberkati mereka yang ingin menjadi katolik (para katekumen), dan minyak untuk Pengurapan orang sakit (oleum infirmorum) yang digunakan untuk memberkati mereka yang dalam kondisi sakit serius atau menjelang ajal. Pemberkatan ini dilakukan oleh Bapak Uskup.
“Dalam Perayaan Ekaristi ini akan diberkati minyak-minyak yang akan digunakan dalam perayaan sakramen Gereja dan kami para imam juga berkesempatan untuk memperbaharui janji imamat kami agar semakin dekat dengan Kristus dan semakin serupa dengan-Nya. Semoga kami para imam semakin hadir sebagai Gembala yang Baik, Murah Hati dan Setia pada Allah,” ungkap Bapa Uskup membuka homilinya. Misa Krisma dan Pembaharuan Janji Imamat ini dipercayakan kepada Dekenat Barat II, jumlah umat Katolik yang hadir meningkat dibandingkan tahun sebelumnya.
Dalam kesempatan itu juga dilakukan prosesi penyerahan Tongkat Gembala Uskup yang memiliki Logo Baru Keuskupan Agung Jakarta. “Saya merasa grogi kali ini karena menggunakan mitra baru dengan tulisan dan logo KAJ, rasanya seperti memikul seluruh keuskupan di kepala saya,” papar Bapa Uskup lagi sambil tersenyum dan disambut senyuman juga oleh para umat yang mendengarkan.
Dalam khotbahnya Bapa Uskup mengangkat tema Persaudaraan sebagai bagian dari tema APP 2013. “Kita ingin belajar dari rasul Paulus yang membangun Persaudaraan di tengah-tengah komunitas kita. Saudari/a terkasih,Umat korintus mnghadapi masalah perpecahan dalam komunitasnya, karena perilaku persaingan antara gereja-“gereja rumah” jaman itu. Mereka bersaing satu dengan lain dan ingin dianggap paling hebat dan setia pada ajaran Tuhan.
Perpecahan itu diperparah dengan masalah perkawinan, perilaku dalam ibadat, tentang makan daging yang sudah dipersembahkan pada dewa/i dan juga kemudian masalah karunia-karunia Roh khususnya “bahasa roh”.Paulus pertama-tama tidak memberikan nasihat-nasihat praktis, tapi memberikan landasan iman yang utama, yaitu:
“Bahwa kamu semua adalah Tubuh Kristus, kamu semua masing-masing adalah anggotanya.” Setelah itu Paulus memberikan landasan konseptual bahwa semua masalah harus ditempatkan dalam kerangka pembangunan iman umat dalam pembangunan komunitas. Dengan kata lain, anugerah-anugerah khusus itu harus digunakan untuk kepentingan bersama. Perkataan Paulus itu justru memberikan tempat bagi adanya perbedaan dan pembaharuan. Perbedaan-perbedaan itu tidak dihilangkan oleh uniformitas, tapi harus saling melengkapi dengan dinamis.
Nah terkait adanya penerimaan perbedaan-perbedaan dan sikap saling melengkapi itu, kita smua tahu hal itu!!
Tetapi rupanya ada sesuatu yang tersembunyi yang sering tidak kita sadari dan akhirnya perbedaaan yang tidak dikelola akan membuat komunitas malah semakin terpecah bukannya semakin berbela rasa dan bersaudara.
Hal ini menimbulkan kesan bahwa bukannya keberagaman yang diberikan tempat tapi justru keseragaman yang dipaksakan.
Lalu apakah yang tersembunyi itu? Yaitu:
Permainan Status (Status Game).
Permainan Status ini lazim digunakan dalam dunia perpolitikan kita. Namun kini mulai merasuk ke dalam kehidupan menggereja. Itu terjadi ketika seseorang berlomba-lomba mengumpulkan Kredit Poin demi prestise dan status yang dianggap baik.
Semua berlomba-lomba! Ini membuat orang menjadi egois, seperti dalam Kisah Kitab Suci tentang “Menara Babel”. Permainan Status seperti ini bagi banyak orang sudah menjadi zona nyaman yang umum. Ini menyedihkan!
Saking nyamannya sehingga sulit keluar dari permainan itu.
Sebaliknya dalam hidup bersama dengan intelegensi yang tinggi perbedaan diterima bahkan disyukuri untuk dikelola dengan baik, dengan demikian komunitas akan menjadi dinamis, terbuka untuk perubahan dan tidak berhenti dalam zona nyaman.
Tentu diperlukan figur pimpinan seperti Paulus. Yang ingin membawa komunitasnya keluar dari zona nyaman dengan Permainan Statusnya yang telah melekat lama, untuk kemudian masuk ke Zona Kristus yang lebih baik di masa depan.
Paulus mampu melakukan itu karena ia sudah mengalami perubahan radikal terlebih dahulu dalam perjumpaan dengan Kristus.
Marilah kita memohon rahmat Tuhan agar kita menyadari zona nyaman yang membuat kita siap untuk berkelahi tapi tidak siap bersaudara, meskipun kita sudah sering berbicara soal Persaudaraan. Dan kemudian kita dapat menuju ke Zona Kristus yang berisi Persaudaraan Sejati.
(Foto: Jo Hanapi)