Semakin nyata bahwa banyak kaum muda terutama di barat sudah tidak lagi aktif ke Gereja. Sebuah buku hasil riset dari Barna Group mengungkapkan mengapa banyak kaum muda “terjatuh” saat memasuki kedewasaan.
Pada awal pembukaan dari buku tersebut, digarisbawahi tiga (3) realita yang harus dipahami seputar dunia kaum muda:
1. Gereja secara aktif memang memiliki banyak kegiatan bersama kaum muda, namun ternyata banyak kaum muda yang justru tidak bertumbuh kedewasaan imannya dalam menjadi pengikut Kristus yang sejati.
2. Ada banyak alasan mengapa orang-orang jatuh dalam dosa dan keputusasaan, oleh sebab itu sangatlah penting untuk tidak menghakimi seluruh generasi.
3. Gereja tidak sigap dan tepat dalam mempersiapkan generasi berikutnya untuk menjadi pengikut Kristus dalam konteks peradaban budaya yang berkembang sangat cepat.
Masalahnya, Kinnaman menjelaskan, adalah bukan pada bahwa kaum muda kurang aktif ikut kegiatan di Gereja. Fakta mengungkapkan bahwa dari 5 anak muda Amerika, 4 di antaranya menghabiskan masa kecil dan remaja mereka di paroki mereka. Yang terjadi selanjutnya adalah bahwa aktivitas itu menurun ketika mereka berusia 20-an tahun. Masalah terbesarnya adalah bahwa dunia mereka mulai terputus dari Gereja. Bahkan dikatakan oleh Kinnaman, perjuangan mereka untuk setia aktif mengikuti kegiatan di Paroki lebih besar dari pada perjuangan untuk setia menjadi pengikut Kristus.
Faktor Penting yang mempengaruhi kaum muda saat ini adalah situasi peradaban di mana mereka tinggal. Secara khusus kaum muda, mereka menghadapi situasi perubahan jaman yang sangat cepat. Selama kurang lebih 10 tahun terakhir terdapat banyak sekali perubahan dalam media massa, teknologi, seksualitas dan ekonomi. Hal ini semakin menambah kompleksitas dan ketidakpastian dalam masyarakat. Mengenai perubahan jaman yang sangat cepat ini, Kinnaman menjelaskannya dalam tiga konsep yaitu, Akses, Keterasingan dan Otoritas.
Mengenai konsep pertama yaitu, Akses, ia menjelaskan bahwa dalam perkembangan dunia digital saat ini telah terjadi revolusi dalam hal berhubungan dan berkomunikasi, bekerja serta berpikir. Teknologi telah merubah semuanya. Jelas ada sisi positifnya yaitu seperti Internet dan perangkat digital lainnya, semuanya itu semakin memudahkan dalam penyebaran pesan iman dan moral Kristianitas. Namun, hal itu juga berarti segala perangkat tersebut juga membuat kaum muda semakin mudah mengetahui budaya-budaya lain yang justru dapat mengguncang keyakinan mereka. Hal lain lagi adalah berkurangnya pemahaman secara logis dan lurus.
Konsep yang kedua, yaitu Keterasingan, Kinnaman menjelaskan bahwa ada banyak kaum remaja dan kaum muda yang beranjak dewasa yang merasa terasing dan tersisihkan dari keluarga, komunitas dan institusi mereka. Tingginya tingkat perceraian dan kehamilan di luar pernikahan menunjukkan banyak dari mereka yang bertumbuh di luar struktur keluarga tradisional. “Banyak Paroki yang tidak mempunyai solusi pastoral yang secara efektif mendampingi kaum muda menjalani masa transisi menuju ke kedewasaan,” ungkap Kinnaman.
Ditambah lagi, bahwa kaum muda saat ini sangat skeptic terhadap institusi yang dahulu telah membentuk masyarakat. Jaringan akar rumput dan kerjasama nyata sesungguhnya lebih diutamakan dari pada institusi hierarkis. Skeptisisme itu kemudian berkembang menjadi ketidakpercayaan atas adanya Otoritas, yang adalah konsep ketiga dari Kinnaman yang telah disebut di atas. Kecenderungan atas pluralisme dan bahkan keyakinan atas ide-ide yang bertentangan lebih diutamakan dari pada Kitab Suci dan Norma Moral.
Sebenarnya “Budaya Mempertanyakan” dapat membawa orang menuju kepada kebenaran dan ketegangan antara iman dan budaya juga membawa pemahaman positif, namun hal itu kini membutuhkan bentuk baru pendekatan Gereja. Kinnaman mengakui bahwa ada beberapa alasan mengapa kaum muda meninggalkan Gereja. Beberapa kaum muda merasa frustrasi dan beranggapan bahwa Gereja mengekang kreativitas dan ekspresi pribadi. Yang lain lagi merasa bosan, dangkal dan hampa dengan pengajaran dan khotbah yang ada. Kemajuan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak disertai juga kemajuan pemikiran teologis iman pun turut andil, dan sebagainya.
Kinnaman menemukan fakta bahwa Gereja telah gagal dalam mendidik secara mendalam dan progresif para generasi muda. Pada akhir bukunya Kinnaman merekomendasikan sebuah solusi atas hal tersebut yaitu, perlu segera diadakan perubahan cara berpikir dan bertindak dari para generasi tua Gereja berhadapan dengan generasi muda. Para generasi tua hendaknya jangan berada dalam posisi yang menghakimi generasi muda, melainkan merangkul dan memahami. Selain itu Kinnaman, juga mendesak agar segera ditemukan konsep teologis yang baru terkait dengan konsep Panggilan yang dapat memancing kaum muda untuk lebih dalam bertanya atas relasinya dengan Allah.
Romo, saya sebagai anak muda turut menyesali keadaan ini. Saya ingin memberikan saran pada saat ekaristi wujud misa untuk saudara… saudari… mohon didoakan untuk… dll jangan dibacakan pada saat doa syukur agung atau pada saat ibadat ekaristi. Pada saat doa syukur agung saya sangat berkonsentrasi pada Tuhan dan hal tadi membuat doa terasa lama dan membosankan hingga memecahkan konsentrasi. Ini terjadi juga pada umat-umat yang lain karena saya melihatnya dan mendengarkan keluhan mereka. Saya hanya tidak setuju jika keheningan pada saat ibadat ekaristi khususnya doa syukur agung diganggu. Hal demikian yang terjadi berulang-ulang kali memang membuat saya malas ke gereja. Apalagi ditambah biarawan/biarawati sekarang yang makin materialistis dan bergaya saya muak melihatnya. Apakah menjadi biarawan/wati hanya tameng belaka karena setahu saya biarawan/wati dapat uang saku tiap bulannya. Ada suatu waktu kolekte diberikan untuk pendidikan para iman wah saya makin menjadi gelisah akan hal itu. Romo saya mohon kebijaksanaan anda untuk hal-hal ini. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.