KAJ.or.id – Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi; Ketua FKUB Abdul Manan; Ketua Muhammadiyah Kota Bekasi Sukandar Gozali; dan Kepala Kesbangpol Kota Bekasi Momon Sulaeman, siang kemarin, Senin (01/08), berkunjung ke Keuskupan Agung Jakarta, dalam rangka menjalan silaturahmi antar umat beragama, bertemu dengan Uskup Mgr. Ignatius Suharyo.
Rahmat Effendi, yang diterima langsung oleh Uskup Ignatius Suharyo, mengatakan bahwa kunjungannya sebagai Wali Kota semua umat di Kota Bekasi. Untuk itu, dirinya merasa perlu menjalin silaturahmi dengan semua umat beragama.
“NKRI juga sudah memutuskan falsafahnya dengan Pancasila, jadi seperti yang selalu saya sampaikan, Kota Bekasi adalah miniaturnya Indonesia, dan silaturahmi seperti ini akan selalu saya lakukan kepada semua agama yang ada,” kata Rahmat Effendi.
Sementara itu, Uskup Suharyo mengatakan, bahwa Rahmat Effendi merupakan Wali Kota Bekasi pertama yang berkunjung ke Keuskupan Agung Jakarta. Dirinya sangat bersyukur dan mengapresiasi apa yang dilakukannya, dan ini merupakan contoh kepala daerah yang mengayomi seluruh masyarakatnya tanpa memandang suku, agama, dan ras.
“Wali Kota Bekasi ini patut dicontoh, berkali-kali beliau mengatakan telah disumpah di atas Al-Quran sebagai Wali Kota Bekasi, dimana beliau mengatakan telah diamanatkan oleh Undang-Undang untuk berlaku adil dan menjadi pengayom semua agama yang diakui NKRI,” ujar Bp Uskup.
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Kota Bekasi telah menjamin hak-hak setiap warga negara dalam beragama. Wali Kota Bekasi menjamin keberagaman agama yang diamanatkan oleh konstitusi dan hukum. Seperti inilah memang seharusnya watak sebuah Pemerintahan, hadir untuk menjamin hak rakyat tanpa memandang identitas. (infobekasi.co.id)
PEMKOT BEKASI LAKUKAN SILATURAHMI KE KEUSKUPAN AGUNG JAKARTA
Warga Paroki Kramat Turut Serta dalam AQUA YOGA di Hotel ACACIA
Dari sudut pandang fisik, melakukan gerakan dan postur yoga dalam air tidak menimbulkan tekanan pada sendi. Sebab, beberapa gerakan yang dirasakan sulit dilakukan di darat bisa dilakukan di dalam air.
Menurut Channa, aqua yoga termasuk gerakan yang bersifat terapeutik karena dapat menyesuaikan resistensi alami, memberikan dukungan ke seluruh bagian tubuh dan tidak menimbulkan dampak yang membebani dan merugikan pada sendi.
Olahraga ini sangat efektif bagi mereka yang memiliki masalah punggung, arthritis, dan cedera pada persendian. Daya apung air memberi efek rileks pada tulang dan sendi.
Melakukan peregangan dalam air juga dapat meningkatkan fleksibilitas dan kapasitas paru-paru. Selain itu, air adalah elemen penyembuh alami yang bersifat menenangkan, tambah Channa.
Sependapat dengan Channa, Deepali Jain, seorang instruktur olahraga yang berbasis di Mumbai, juga angkat suara mengenai olahraga di dalam air ini. Menurutnya, berolahraga di darat seringkali memberikan dampak negatif pada sendi. Tapi ketika Anda berolahraga di dalam air, tidak ada gravitasi memaksa tubuh berat badan turun pada sendi.
AQUA YOGA cukup membantu penurunan berat badan dan membuat tubuh semakin bugar, sebab latihan ini dapat membakar sekitar 800 – 1.000 kalori dalam satu jam.
Terima kasih dan salam dalam kasih Yesus,
Ben Setiadi (Instruktur Yoga Kramat)
081214599288
DOWNLOAD: Bahan Bulan Kitab Suci (BKS) 2016
KAJ.or.id – KomKKS KAJ telah mengeluarkan Bahan Bulan Kitab Suci 2016. Tema yang diangkat adalah “Memaknai Pancasila dalam Terang Sabda”. Bahan Bukan Kitab Suci 2016 ini terbagi menjadi 2 yaitu bagi para fasilitator pendalaman iman dan bagi umat umumnya.
Versi cetak bisa didapatkan di paroki-paroki masing-masing, sedangkan versi softfilenya bisa didownload di web KAJ: www.KAJ.or.id. Info: KomKKS (021-3519193, eks. 229). (*)
DOWNLOAD FILE PRESENTASI BKS 2016
DOWNLOAD FILE BUKU PANDUAN UNTUK FASILITATOR BKS 2016
HUKUMAN MATI DALAM PANDANGAN GEREJA KATOLIK
KAJ.or.id – Ajaran Gereja Katolik mengenai hukuman mati mengalami perkembangan dalam proses yang sangat panjang. Beberapa kutipan berikut ini dapat menjelaskan perkembangan dan perubahan ajaran Gereja Katolik mengenai hukuman mati itu:
- Surat Paus Innocensius III kpeada Uskup Agung Tarragonta, mengenai rumus pengakuan iman yang diwajibkan bagi para pengikut P. Waldo. Pada tahun 1210 dikatakan, “Kuasa sipil dapat, tanpa dosa berat, melaksanakan pengadilan darah, asalkan mengadili dengan adil, tidak karena benci, dengan arif, tidak tergesa-gesa”.
- Katekismus Romawi yang diterbitkan berdasarkan dekret Konsili Trente (1566) : Bentuk lain pematian sah merupakan wewenang otoritas sipil yang diserahi kuasa atas hidup dan mati; dengan pelaksanaan legal dan yudisial mereka menghukum orang bersalah dan melindungi orang tak bersalah. Penggunaan adil atas kuasa ini, jauh dari kejahatan pembunuhan, adalah perbuatan ketaatan tertinggi terhadap perintah yang melarang pembunuhan. Tujuan perintah ini ialah pemeliharaan dan keamaan hidup manusia. Ada pun hukuman yang dijatuhkan otoritas sipil yang adalah pembalas legitim kejahatan, menurut kodratnya mengarah kepada tujuan ini, karena memberi keamanan kepada hidup dnegan menekan kegusaran dan kekerasan. Maka kata-kata Daus : di pagi hari aku mematikan semua orang jahat di negeri, agar aku dapat memotong semua pelaku kejahatan dari kota Tuhan….
B. Beberapa kutipan dari ajaran Gereja yang paling baru mengenai hukuman mati : mulai dengan menerima dengan syarat sampai menolak.
- Katekismus Gereja Katolik (11 Agustus 1992) menyatakan : Untuk menjaga kepentingan umum masyarakat diperlukanupaya untuk membuat penyerang tak mampu merugikan. Karena itu ajaran tradisional Gereja mengakui dan mendasari hak dan kewajiban otoritas publik yang legitim untuk menghukum penjahat dengan hukuman yang setimpal dengan beratnya kejahatan, tak terkecuali dalam kasus yang amat berat, hukuman mati. Dengan alasan-alasan analog, mereka yang mengemban otoritas mempunyai hak untuk, dengan kekerasan senjata melawan penyerang bersenjata yang melawan masyarakat yang menjadi tanggungan pengemban otoritas itu. Efek pertama hukuman ialah memperbaiki kekacauan yang disebabkan pelanggaran. Bila hukumannya diterima dengan sukarela oleh pelanggar, maka ada nilai silih. Selain itu hukuman mengakibatkan pemeliharaan tatatan publik dan keamanan orang. Akhirnya, hukuman juga merupakan pengobatan; sejauh mungkin hukuman harus merupakan bantuan untuk perbaikan diri pelanggar (No 2266).
Kesimpulan: Menurut Katekismus ini, hukuman mati diperbolehkan dalam kasus-kasus yang sangat parah kejahatannya. Namun, apabila terdapat cara lain untuk melindungi masyarakat dari penyerang yang tidak berperi-kemanusiaan, cara-cara lain ini lebih dipilih daripada hukuman mati karena cara-cara ini dianggap lebih menghormati harga diri seorang manusia dan selaras dengan tujuan kebaikan bersama (bdk KGK 2267). Di sini terjadi peralihan pandangan Gereja tentang konsep hukuman mati
C. Ensiklik Paus Yohanes Paulus II “Evangelium Vitae” No 55-57 (25 Maret 1995)
Dalam ensiklik Evangelium Vitae yang diterbitkan tahun 1995, Paus Yohanes Paulus II menghapuskan status persyaratan untuk keamanan publik dari hukuman mati ini dan menyatakan bahwa, dalam masyarakat modern saat ini, hukuman mati tidak dapat didukung keberadaannya. Berikut kutipannya: “Jelaslah bahwa untuk pencapaian tujuan ini (=melindungai masyarakat), hakikat dan lingkup hukuman harus dinilai dan diputuskan dengan seksama, dan tak perlu terlalu jauh sampai melaksanakan eksekusi mati bagi pelanggar kecuali dalam kasus-kasus yang mutlak perlu; dengan kata lain, bila mustahil dengan cara lain melindungi masyrakat. Namun dewasa ini sebagai hasil perbaikan terus-menerus dalam penataan sistem pidana, kasus demikian amat jarang, kalau tidak praktis tidak ada” (No 56). Dengan demikian Gereja Katolik tidak mendukung hukuman mati.
D. Intervensi Pengamat Tetap Takhta Suci di Perserikatan Bangsa-Bangsa di depan Komite Penghapusan Hukuman Mati (2 Novenber 1999). Beberapa bagian dari intervensi adalah sebagai berikut : Maka dari itu posisi Takhta Suci ialah agar otoritas harus membatasi diri, bahkan untuk kejahatan yang paling serius, dengan menggunakan sarana hukuman yang tidak mematikan, karena sarana-sarana ini ‘lebih sesuai untuk memelihara kepentingan umum dan lebih selaras dengan martabat manusia’ (KGK 2267). Dewasa ubu begara-negara dapat memakai kemungkinan-kemungkinan baru untuk ‘secara efektif mencegah kejahatan, dengan membuat orang yang telah melakukan pelanggaran tak mampu merugikan – tanpa secara definitif merenggut darinya kemungkinan menebus dirinya (Evangelium Vitae 56). …. Perkenankanlah saya mengatakannya dengan jelas, setiap orang yang hidupnya diakhiri di kamar gas, dengan penggantungan, dengan injeksi yang mematikan atau oleh komando penembak, adalah seorang dari kita – manusia, saudara atau saudari, betapa pun kejamnya dan tak manusiawi nampaknya tindakannya ….Pada fajar milenium baru, pantaslah umat manusia menjadi lebih manusiawi dan kurang kejam. Pada akhir abad yang telah melihat kekejaman yang tak terperikan melawan martabat manusia dan hak-haknya yang tak terganggu-gugat, memberikan perhatian serius terhadap penghapusan hukuman mati akan menjadi prakarsa yang pantas dicatat bagi umat manusia ….. Diskusi tentang pembatasan dan penghapusan hukuman mati menuntut dari negara-negara kesadaran baru tentang kesucian hidup dan hormat yang patut diterimanya. Diperlukan keberanian untuk mengatakan “tidak” kepada setiap jenis pematian, dan diperlukan kemurahan hati untuk memberi kepada pelaku kejahatan yang terbesar sekali pun kesempatan untuk menghayati hidup yang dibarui dengan penyembuhan dan pengampunan. Dengan melakukan hal itu pastilah akan berkembangan perikemanusiaan yang lebih baik.
E. Pernyataan yang paling baru adalah surat yang disampaikan oleh Paus Fransiskus kepada Komisi Internasional Penghapusan Hukuman Mati, pada tanggal 20 Maret 2015. Berikut beberapa kutipan dari surat itu : Secara pribadi saya sangat menghargai komitmen Anda semua untuk membangun dunia yang bebas dari hukuman mati dan usaha Anda untuk diberlakukannya moratorium eksekusi mati di seluruh dunia dan akhirnya penghapusan hukuman mati …. Magisterium Gereja, mulai dari Kitab Suci dan dari pengalaman sejarah Umat Allah selama ribuan tahun, membela hidup sejak saat perkandungan sampai kematian natural dan menjunjung tinggi martabat manusia sebagai citra Allah (Kej 1:26). Hidup manusia adalah suci karena sejak awal hidup manusia merupakan buah karya penciptaan Allah (KGK 2258) dan sejak saat pembuahan itu, manusia … satu-satunya makhluk yang dikehendaki Tuhan demi dirinya sendiri, adalah pribadi yang menerima kasih Allah secara pribadi (GS 24). … Hidup, khususnya hidup manusia adalah milik Allah saja. Bahkan seorang pembunuh tidak kehilangan martabatnya yang dijamin oleh Allah. Allah tidak menghukum Kain dengan pembunuhan, karena Ia lebih ingin pendosa bertobat daripada mati (Evangelium Vitae 9). … Dalam kasus-kasus tertentu, pembelaan diri dapat dibenarkan, juga kalau pembelaan diri itu berakibat pada terbunuhnya penyerang (Evangelium Vitae 55). Tetapi prinsip pembelaan diri pribadi ini tidak dapat ditrapkan pada tingkat sosial. Maksudnya, ketika hukuman mati diterapkan, orang dibunuh tidak ketika dia menyerang, tetapi dia dibunuh karena kesalahan yang dilakukan di masa lalu. … Sekarang ini hukuman mati tidak bisa diterima, seperti apapun kejahatan orang yang dijatuhi hukuman. Hukuman mati mencederai prinsip hak hidup yang tidak bisa diganggu-gugat dan martabat pribadi manusia. Hukuman mati melawan rencana Allah terhadap manusia dan masyarakat dan juga keadilan-Nya yang penuh kerahiman, dan tidak sesuai dengan tujuan hukuman yang adil. Hukuman mati tidak memperlakukan korban dengan adil, tetapi bernada pembalasan … Bagi negara hukum, hukuman mati mencerminkan kegagalan, karena mewajibkan negara membunuh atas nama keadilan. Keadilan tidak pernah tercapai dengan membunuh manusia … Hukuman mati kehilangan seluruh legitimasi karena karena tidak sempurnanya pemilihan sistem keadilan kriminal dan karena kemungkinan kesalahan pengadilan. Keadilan manusia tidaklah sempurna, dan ketidakmampuan mengakui ketidaksempurnaan ini dapat menjadikannya sumber ketidak-adilan. Dengan diberlakukannya hukuman mati, orang yang dihukum tidak diberi kesempatan untuk membuat silih dan bertobat dari perbuatannya yang merugikan; tidak diberi kesempatan untuk mengakui kesalahan yang merupakan ungkapan peribatan batinnya. … Hukuman mati bertentangan dengan kemanusiaan dan kerahiman Allah, yang harus menjadi model keadilan manusiawi. Hukuman mati menyengsarakan manusia yang diperlakukan secara kejam (perasaan ketika menunggu eksekusi dst.) … Sekarang ini ada banyak cara untuk menghadapi kejahatan tanpa meniadakan kesempatan bagi penjahat untuk membaharui diri (Evangelium Vitae 27), tetapi juga kepekaan moral yang semakin tinggi mengenai nilai hidup manusia, yang menguatkan pendapat umum yang semakin mendukung penghapusan hukuman mati atau moratiorium terhadapnya (Kompendium Ajaran Sosial Gereja No 405). … Dan seperti yang saya sampaikan, hukuman mati secara langsung melawan perintah kasih kepada musuh sebagaimana disampaikan dalam Injil. Oleh karena itu semua orang kristiani dan yang berkehendak baik, dipanggil untuk berjuang demi penghapusan hukuman mati legal atau ilegal – dan bukan itu saja, tetapi juga berjuang untuk memperbaiki kondisi penjara demi hormat terhadap martabat manusia.
F. Kesimpulan : 1. Dari kutipan-kutipan itu jelas, bahwa pandangan atau ajaran Gereja Katolik mengenai hukuman mati, berkembang dan pada akhirnya berubah; 2. Perubahan pandangan ini berkaitan dengan kesadaran diri manusia dan pengalamannya akan Allah. Ini amat jelas dalam Kitab Suci : dalam Perjanjian Lama ada hukum pembalasan yang setimpal “Gigi ganti gigi, mata ganti mata”. Pembalasan yang setimpal ini sudah lebih maju dibandingkan dengan hukum pembalasan yang lebih berat daripada yang diterima “Kepala ganti gigi”. Dalam Perjanjian Baru, ketika Allah semakin dialami sebagai Sang Kasih, hukum pembalasan setimpal diganti secara radikal dengan Hukum Kasih. Ajaran Gereja Katolik mengenai hukuman mati mengalami perkembangan dan akhirnya perubahan yang radikal seperti itu.
+ Mgr. I. Suharyo
“MURAH HATI SAMA SEPERTI BAPA” TEMA TAHBISAN 1 DIAKON KAJ DAN 6 OFM
KAJ.or.id – Bertempat di Gereja St. Perawan Maria Diangkat Ke Surga Katedral Jakarta, Bapak Uskup I. Suharyo mentahbiskan 1 Frater KAJ dan 6 Frater Tarekat Saudara Dina (OFM) menjadi Diakon. Dalam perayaan Ekaristi Tahbisan sore ini (25/7/16), Bapak Uskup didampingi oleh Rm Samuel Pangestu (Vikjen KAJ) dan Rm Sunarko, OFM (Provinsial OFM).
Fr. Vinsensius Rosihan Arifin
(calon Diakon Keuskupan Agung Jakarta)
Fr. Yosef Berman Siba Abstra Sitanggang OFM
Fr. Fransiskus Yohanes Andry Hanafi Cipto OFM
Fr. Markus Virgilius Hesron OFM
Fr. Wilhelmus Kollo OFM
Fr. Wilhelmus Yornes Opestrano Panggur OFM
Fr. Wolfhelmus Apriliano OFM
Mari kita mendoakan para Diakon ini semoga segera memperoleh tahbisan Imamat dalam waktu dekat.
Semoga Allah yang memanggil mereka, selalu membimbing dan memberkati setiap karya pelayanan para imam dan diakon, serta menumbuhkan panggilan dalam keluarga-keluarga. Amin.
Pada kesempatan itu, Bapak Uskup juga mengutus Rm Aldo untuk bertugas di tanah misi KAJ di Bomomani, Papua. Selamat bertugas Rm Aldo di tempat yang baru.
Theology of the Body for Relationship
KAJ.or.id – TOB for Relationship adalah program dari TOBIT (Theology of the Body Insight) yang membahas pemahaman (INSIGHT) dari pengajaran Teologi Tubuh (Theology of the Body – TOB) oleh Santo Yohanes Paulus II tentang cinta dan hubungan (relationship).
Tujuan dari Program ini adalah memberi pengarahan bagi masing2 pesertanya supaya dapat mengambil keputusan-keputusan yang benar dalam memilih pasangan dan membina hubungan.
Sabtu, 30 Juli 2016 (08.30-15.25) dan Minggu, 31 Juli 2016 (08.30-13.55)
Investasi Iman:
Rp 300.000,- per orang
Apabila membawa teman, Rp 250.000,- per orang.
Tempat:
Domus Cordis Center Argo Manunggal
Wisma Argo Manunggal, Lantai Basement
Jl. Jend. Gatot Subroto Kav. 22, Jakarta Selatan
Pendaftaran:
Phone (telp/wa/sms): +62 818 0690 0088
Email: info@teologitubuh.com
See you soon!!!!
MENGAPA KAMU SEORANG KATOLIK?
oleh
Pater William P. Saunders
Pertanyaan:
KAJ.or.id – Terkadang saya bertemu dengan orang-orang yang mengatakan, “Oh, saya dulu seorang Katolik.” Kemudian mereka bertanya, “Mengapakah kamu tetap tinggal dalam Gereja Katolik?” Mohon jawaban yang baik untuk menanggapi pertanyaan “Mengapa kamu seorang Katolik?”
Tanggapan:
Setiap orang Katolik sepatutnya dapat memberikan suatu jawaban yang mantap dan mendalam atas pertanyaan, “Mengapa kamu seorang Katolik?” Tentu saja, bagi tiap-tiap invidivu, jawabannya bersifat amat pribadi dan mungkin agak berbeda dari jawaban orang lain. Saya harap, tak seorang pun dari kita yang telah dewasa akan sekedar menjawab, “Yah, karena orang tua membaptisku Katolik” atau “Aku dibesarkan secara Katolik” atau “Keluargaku semuanya Katolik.” Bukan. Bagi masing-masing kita, jawabannya haruslah pribadi, dari lubuk hati dan penuh keyakinan. Saya akan memberikan jawaban saya atas pertanyaan ini.
Pertama-tama, saya akan mengatakan bahwa saya seorang Katolik karena inilah Gereja yang didirikan Yesus Kristus. “Sejarawan paling ahli sekali pun akan harus mengakui bahwa Gereja Kristen pertama yang ada sejak jaman Kristus adalah Gereja Katolik Roma.” “Perpecahan besar pertama dalam kekristenan baru muncul pada tahun 1054,” ketika Patriark Konstantinopel berselisih dengan paus atas siapa yang lebih berwenang; sang Patriark mengekskomunikasi paus, yang ganti mengekskomunikasi Patriark, dan lahirlah Gereja-gereja “Orthodox”
Kemudian, pada tahun 1517, Martin Luther memicu gerakan Protestan, dan ia diikuti oleh Calvin, Zwingli, dan Henry VIII. “Sejak itu, Protestanisme telah terpecah-pecah menjadi banyak Gereja-gereja Kristen lainnya.”
Namun demikian, “satu-satunya Gereja dan Gereja Kristen pertama yang didirikan Kristus adalah Gereja Katolik.” “Pernyataan ini tidak berarti bahwa tidak ada kebaikan dalam Gereja-gereja Kristen lainnya.” “Tidak pula berarti bahwa orang-orang Kristen lainnya tidak dapat masuk surga.” “Tetapi, sungguh berarti bahwa ada sesuatu yang istimewa mengenai Gereja Katolik.” Konsili Vatican II dalam “Konstitusi Dogmatis tentang Gereja” memaklumkan bahwa KEPENUHAN dari sarana-sarana keselamatan ada dalam Gereja Katolik sebab inilah Gereja yang didirikan Kristus (No. 8).
Alasan kedua mengapa saya seorang Katolik ialah karena Suksesi Apostolik. Yesus mempercayakan otoritas-Nya kepada para rasul. Ia memberikan otoritas khusus kepada Petrus, yang disebut-Nya sebagai “batu karang” dan kepada siapa Ia mempercayakan kunci Kerajaan Allah. Sejak jaman para rasul, otoritas ini telah diwariskan melalui Sakramen Imamat dari uskup ke uskup, dan kemudian diperluas ke imam dan diakon. Uskup kita sendiri, andai mau, dapat menelusuri kembali otoritasnya sebagai seorang uskup hingga ke jaman para rasul.
Dalam tahbisan imamat yang suci, Bapa Uskup menumpangkan tangannya ke atas kepala calon imam yang akan ditahbiskan. Dalam saat khidmad itu, suksesi apostolik diwariskan. Dalam terang iman, orang dapat melihat bukan saja Bapa Uskup, melainkan St. Petrus dan St. Paulus, bahkan Yesus Sendiri, menyampaikan tahbisan suci. “Tidak ada uskup, imam ataupun diakon dalam Gereja kita yang menahbiskan dirinya sendiri atau memproklamirkan dirinya sendiri;” tetapi otoritas itu berasal dari Yesus Sendiri dan dijaga oleh Gereja.
Alasan ketiga mengapa saya seorang Katolik adalah karena kita percaya akan kebenaran, yakni kebenaran mutlak yang diberikan oleh Tuhan Sendiri. Kristus menyebut Diri-Nya sebagai “jalan dan kebenaran dan hidup” (Yoh 14:6). Ia menganugerahkan kepada kita Roh Kudus, yang disebut-Nya Roh Kebenaran (Yoh 14:17), yang akan mengajarkan segala sesuatu kepada kita dan yang akan mengingatkan kita akan semua yang telah Ia ajarkan (Yoh 14:26).
Kebenaran Kristus telah dipelihara dalam Kitab Suci. Konsili Vatican II dalam “Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi” memaklumkan bahwa, “segala sesuatu, yang dinyatakan oleh para pengarang yang ilhami atau hagiograf (penulis suci), harus dipandang sebagai pernyataan Roh Kudus, maka harus diakui, bahwa Kitab Suci mengajarkan dengan teguh dan setia serta tanpa kekeliruan kebenaran, yang oleh Allah dikehendaki supaya dicantumkan dalam kitab-kitab suci demi keselamatan kita” (No. 11).
Kebenaran ini terus dipelihara dan diterapkan pada suatu masa dan budaya tertentu oleh magisterium, yakni otoritas mengajar Gereja. Sementara kita menghadapi berbagai macam issue seperti bioetika atau euthanasia – masalah-masalah yang tak pernah dibicarakan secara spesifik dalam Kitab Suci – betapa beruntungnya kita mempunyai Gereja yang mengatakan “Cara hidup seperti ini adalah benar atau cara ini salah menurut kebenaran Kristus.” Tak heran, Gereja Katolik menjadi berita utama di surat-surat kabar; kita adalah satu-satunya Gereja yang berpendirian tegas dan mengatakan, “Ajaran ini adalah benar selaras dengan pemikiran Kristus.”
Alasan lain mengapa saya seorang Katolik adalah karena sakramen-sakramen kita. Kita percaya akan ketujuh sakramen yang dianugerahkan Yesus kepada Gereja. Masing-masing sakramen menangkap suatu unsur penting dari kehidupan Kristus, dan melalui kuasa Roh Kudus mendatangkan bagi kita keikutsertaan dalam kehidupan ilahi Allah. Sebagai contoh, coba renungkan betapa anugerah maha berharga kita boleh menyambut Ekaristi Kudus, Tubuh dan Darah Tuhan kita, atau menyadari bahwa dosa-dosa kita telah sungguh diampuni dan jiwa kita dipulihkan setiap kali kita menerima absolusi dalam Sakramen Tobat.
Dan yang terakhir, saya seorang Katolik karena orang-orang yang membentuk Gereja. Saya mengenangkan begitu banyak para kudus: St Petrus dan St Paulus yang memelihara agar Injil hidup pada masa-masa awali. Pada masa penganiayaan Romawi, para martir awal Gereja—seperti St. Anastasia, St. Lusia, St. Yustinus atau St. Ignatius dari Antiokhia, yang pada tahun 100 menyebut Gereja “Katolik”—membela iman dan menderita aniaya maut karenanya. “Pada Abad-abad Kegelapan, ketika banyak hal sungguh “gelap”, memancarlah terang yang benderang dari St. Fransiskus, St. Dominikus dan St. Katarina dari Siena”.
Pada masa gerakan Protestan, ketika bidaah mengoyak Gereja, Gereja dibela oleh St. Robertus Bellarminus dan St. Ignatius Loyola, para reformator sejati. Saya berpikir mengenai para kudus yang hidup di jaman kita, seperti Moeder Teresa atau Paus Yohanes Paulus II, yang dari hari ke hari melakukan karya kudus Allah. Ada begitu banyak para kudus yang mengilhami masing-masing kita untuk menjadi warga Gereja yang baik.
Tetapi ada mereka-mereka yang lain juga. Pada waktu Misa, arahkanlah pandangan ke sekeliling gerejamu. “Lihatlah pasangan-pasangan suami isteri yang berjuang untuk mengamalkan Sakramen Perkawinan dalam abad yang memperturutkan hawa nafsu dan perselingkuhan”. “Lihatlah orang-orangtua yang rindu mewariskan iman kepada anak-anak mereka.” ” Lihatlah kaum muda yang berjuang untuk mengamalkan iman kendati dunia yang penuh pencobaan.” “Lihatlah kaum lanjut usia yang tetap setia kendati perubahan-perubahan dalam dunia dan Gereja”. “Lihatlah para imam dan kaum religius yang membaktikan hidup mereka demi melayani Tuhan dan Gereja-Nya”. Ada begitu banyak orang yang membentuk Gereja kita.
Ya, tak seorang pun sempurna. Kita berdosa. Itulah sebabnya mengapa salah satu doa terindah dalam Perayaan Misa dipanjatkan sebelum tanda damai; kita berdoa, “Tuhan Yesus Kristus, jangan memperhitungkan dosa kami, tetapi perhatikanlah iman Gereja-Mu.” Ya, kendati segala kelemahan manusia, Gereja, sebagai lembaga yang didirikan oleh Kristus, terus melaksanakan misi-Nya di dunia ini.
Singkat kata, itulah alasan-alasan mengapa saya seorang Katolik dan seorang warga Gereja Katolik Roma. Alasan-alasan ini bukanlah asal.
Melainkan, mencerminkan permenungan mendalam dan pergulatan, setelah dibaptis Katolik, setelah melewatkan masa pendidikan di sekolah St Bernadette, setelah lulus dari SMA West Springfield, dan setelah pergumulan sengit dengan iman sepanjang hari-hari perkuliahan di William and Mary dan kemudian di Seminari. Saya harap setiap orang Katolik dapat dengan bangga memberikan suatu jawaban yang jelas dan mendalam atas pertanyaan, “Mengapa kamu seorang Katolik?”
Fr. Saunders adh Dekan the Notre Dame Graduate School of Christendom
Workshop “Yoga Untuk Kesehatan Keluarga”
KAJ.or.id – Dalam rangka Hari Yoga International, Yoga Group Kramat turut berpartisipasi untuk kedua kalinya mengadakan workshop “Yoga Untuk Kesehatan Keluarga” pada hari Sabtu, 18 Juni yang berlangsung mulai dari pukul 08.30 – 11.00 pagi di aula lantai 3 Gedung Antonius, Paroki Hati Kudus, Kramat Raya 134, Jakarta Pusat. Acara yang diikuti oleh 103 peserta ini dibuka dengan kata sambutan dan berkat dari Pastor Paroki, Romo Agung, OFM.
Acara ini memiliki 3 tujuan utama yaitu:
– Untuk meningkatkan pengetahuan akan manfaat yoga bagi kesehatan keluarga,
– Agar warga paroki Kramat dan sekitarnya semakin sehat, bahagia dan damai dalam hidup melayani keluarga dan sesama, serta
– Mempererat tali persaudaraan di antara warga lingkungan, wilayah dan kategorial di paroki Kramat.
Motto: Sehat, Bahagia dan Damai.
www.yogakramat.weebly.com
Terima kasih dan salam kasih Kristus,
Ben Setiadi (Instruktur Yoga Kramat)
081214599288
SURAT KELUARGA JULI 2016: “Menjadi Keluarga Kontras”
KAJ.or.id – Keluarga-Keluarga Katolik terkasih, semoga Anda sekeluarga mengalami kasih karunia Allah bersama seluruh keluarga di masa kebersamaan ini. Semoga saat istimewa ini kita pakai bersama untuk membangun quality time yang rohani. Persatuan dalam keluarga jika disempurnakan dengan doa bersama akan menjadi relasi spiritual berkualitas antar anggota keluarga.
Keluarga Kontras maksudnya adalah keluarga yang berani “menjadi lain” yang tetap memelihara nilai-nilai luhur kekerabatan, hidup doa, hormat, etika dan etiket, serta berbudaya hangat (afektif) dalam hubungan dengan anggota keluarga lain. Sementara yang lain hidup “sendiri-sendiri” dan miskin komunikasi, keluarga kontras mampu menjadi garam dengan tetap menunjukkan cara hidup yang berbeda, yang normal, yang manusiawi, dan yang “Indonesia”.
Kemerosotan nilai-nilai moral dan manusiawi serta tradisi dapat disebabkan karena banyak orangtua hanya mengejar “kehebatan” akademis, sehingga menyerahkan begitu saja pendidikan putra-putrinya pada institusi (sekolah) yang maju ilmu pengetahuannya, tetapi “miskin hidup rohani”. Sekolah yang hanya menjadikan anak-anak mahir berbahasa asing semakin menjamur. Sekolah yang makin menjadikan anak-anak menjadi semakin berperilaku global lebih menjamur lagi. Gaya hidup modern menjadikan sekolah makin mahal tapi miskin budi pekerti dan nilai-nilai.
Keluarga-Keluarga Katolik yang baik, saya percaya Anda tetap memperhatikan hidup rohani seluruh keluarga. Saya percaya bahwa masih banyak orang Katolik yang beriman baik dan tetap menjaga imannya. Meskipun demikian, “serangan” informasi dari berita, pengetahuan, jejaring sosial, sampai isu-isu per-detik, membuat keluarga kita kurang berdaya mengatasi hidup ini. Kita ingin anak kita beriman dan berbudi luhur, tetapi mereka menerima beban hidup modern yang membuat “senang” dan “lebih mudah”, dan melupakan kekuatan tradisi yang terbukti lebih manusiawi dan diterima semua usia.
Kita ingin agar anak-anak tetap “melek informasi” dan modern. Kita pasti membutuhkan anak-anak yang makin mahir berbahasa asing dan paham teknologi terkini. Kita tidak mungkin membendung rasa ingin tahu dan ingin berjejaring dari anak-anak kita, atau bahkan kita sendiri sebagai orangtua. Biarpun demikian, kita lebih ingin anak-anak kita tidak “ketinggalan rohani”. Kita rindu melihat anak-anak yang pandai, tetapi tetap tahu “sopan santun”. Kita pasti ingin anak-anak menjaga tubuh mereka agar tidak terlilit tren seks bebas di antara teman-teman mudanya.
Bagaimana membangun jembatan generasi dan pendidikan itu? Kadang kita bingung memulainya.
Jangan membiarkan iblis bekerja semakin giat untuk memeluk anak-anak dan pasangan kita ke dalam dosa yang lebih dalam. Jangan biarkan informasi palsu merusak keluarga kita sehingga Firman Allah menjadi olok-olokan dan tidak trendy. Saya dan Anda tentu mempunyai kerinduan yang sama: ingin keluarga tetap menjadi persembahan yang baik buat Tuhan. Kekuatan jahat hanya bisa dikalahkan oleh KASIH dan KOMUNIKASI.
Lihatlah Allah yang adalah kasih (bdk. I Yoh. 4:8) tetap menyertai kita. Meskipun demikian, kita tetaplah anak-anak dunia yang dipengaruhi dunia begitu rupa, sehingga dapat melupakan Allah dan bahkan melupakan-Nya. Kasih Allah menjadi kurang berguna karena kelalaian kita.
Lihatlah, betapa besarnya kasih yang dikaruniakan Bapa kepada kita, sehingga kita disebut anak-anak Allah, dan memang kita adalah anak-anak Allah. Karena itu dunia tidak mengenal kita, sebab dunia tidak mengenal Dia. (I Yoh.3:1)
Dunia mengarahkan kita untuk semakin melupakan Allah, sebab kita hanya mengandalkan akal sehat yang terbatas. Jangan menjadi bodoh, hanya karena kita melulu mengandalkan kekuatan sendiri.
Ketika sebuah keluarga memberi waktu untuk berbicara tentang iman, maka seluruh keluarga akan lebih beriman. Meskipun tidak selalu mudah, tetapi jika “sharing iman” menjadi kebiasaan di dalam rumah, maka semua tidak akan mengalami gagal rohani. Orangtua yang dengan tulus mendengarkan pengalaman anak-anaknya hari itu, pasti dapat lebih menyemangati mereka. Apalagi jika ia mengajak anaknya berdoa kepada Tuhan, tentu hidupnya akan semakin utuh dan lengkap.
Rajinlah menegur dengan sopan dan hormat pada anak-anak atau pasangan. Teguran bisa mengenai apa saja, tentang hal sehari-hari, tentang kebersihan tubuh, menjaga tubuh, kebersihan lingkungan, pergaulan, berdoa, disiplin harian, sampai disiplin menghadiri acara keluarga dan makan bersama. Saya percaya hal itu tidak sulit, jika Anda menginginkan dan mengaturnya dengan lembut dan disiplin. Jangan mudah memberikan toleransi pada hal yang wajar, seperti mengucapkan terima kasih, makan bersama, atau memberi salam kepada orang yang lebih tua.
Semoga saat-saat istimewa tetap menjadi “saat rohani” untuk Anda sekeluarga. Semoga makin banyak anak-anak yang pandai secara akademis, juga pandai secara rohani dan emosinya. Semoga makin banyak anak-anak kecil dan remaja yang sopan berbicara dan pandai bergaul serta mengatur hidupnya. Semoga Allah digembirakan dengan banyaknya keluarga kontras di Keuskupan Agung Jakarta ini. Jangan cuma menambah orang-orang pandai, tetapi didiklah manusia yang utuh. Selamat berjuang dan menang bersama Allah.
Salam Keluarga Kudus
Alexander Erwin Santoso MSF
Ketua Komisi Kerasulan Keluarga KAJ
KUNJUNGAN (Belajar dari Pater Jules Chevalier)
KAJ.or.id – Belum lama ini, saya mengadakan kunjungan orang sakit. Tiba-tiba seorang ibu janda yang sudah sepuh nyelethuk, “Sekarang ini, para pastor tidak pernah kunjungan umat. Mungkin karena kami orang miskin, “pauper ubique iacet” – di mana-mana orang miskin itu tidak dihargai, seperti yang dikatakan Ovidius (43 seb.M – 18 M). Kalau zaman dulu, pastor-pastor bule itu rajin kunjungan walau hanya jalan kaki saja!”
Kata-kata yang keluar dari bibir
ibu itu memang harus saya amini. Kunjungan umat adalah reksa pastoral yang tidak tergantikan.
Kebanyakan umat mengeluh, karena pastor parokinya dalam berkunjung itu “pilih-pilih”. Bahkan ada salah seorang umat yang berkata, “Kebanyakan pastor-pastor yang bertugas di paroki kami khan dari keluarga yang sederhana bahkan miskin, kenapa setelah menjadi pastor lupa asal-usulnya”. Kata-kata itu sempat membuat telinga saya merah, karena saya memang dari keluarga miskin, orang nggunung lagi!
Herman Pongantung MSC dalam bukunya yang berjudul, “Pastor Jules Chevalier” menyadarkan kita yang sebagian besar pembaca milis ini adalah pastor. Pastor Jules Chevalier sangat dekat dengan orang miskin dan sangat terbuka dengan mereka. Ia senantiasa mengadakan kunjungan umat, terutama keluarga-keluarga susah atau janda miskin. Pada kesempatan itu pula, Chevalier menyadari bahwa ia sendiri adalah orang miskin, lahir dari keluarga susah.
Sementara itu, Hans Kwakman MSC dalam bukunya yang berjudul, “Karisma Jules Chevalier dan Indentitas Keluarga Chevalier” memberikan masukan tentang kedekatan Pastor Chevalier dengan kaum miskin, “Ia berbicara tentang perlunya mengunjungi kaum miskin secara personal, mengesampingkan keenakan diri, duduk di sisi kaum miskin, menghirup udara yang mereka hidup. Itulah cara kita menunjukkan bahwa kita mengasihi mereka dan menganggap mereka sebagai saudara-saudara kita” (hlm. 49).
Barangkali, Pastor Chevalier sangat memahami bahwa Gereja adalah gereja kaum miskin, seperti apa yang ditulis C. Congar dalam bukunya yang berjudul, “Gereja Hamba Kaum Miskin”. Seorang pastor – mau tidak mau – dipandang oleh sebagian umat memunyai jabatan penting.
Sebagai contoh, sebutan “Romo” di kalangan masyarakat Jawa, pasti berasal dari lingkungan kraton yang feodal. Dan untuk beberapa orang, kesan keningratan atau kefeodalan itu masih terasa. Di negeri Barat, orang kenal istilah, “Don” (Itali), “Monsieur l’abbé” (Prancis). Di Indonesia kita juga kenal istilah RP dan RD yang barangkali membuat umat miskin bertanya-tanya, “Kuwi ki apa to” – singkatan apa sich itu? Padahal kita sering mendengar azas Injil, “Non dominari, sed ministrare” – bukan memerintah melainkan melayani. Atau dalam Injil kita membaca, “Just as the Son of Man did not come to be served, but to serve, and to give his life as a ransom for many” – Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Mat 20: 28).
Pastor Berthy Tijow dalam refleksinya untuk para imam dan bruder “Sulkaltim” (Sulawesi Kalimantan Timur + Utara) pada akhir Juni 2016, menulis bahwa orang-orang miskin sangat dekat dengan Pastor Jules Chevalier, “Mereka tahu bahwa tidak akan ditolak. Untuk umat paroki, dompetnya selalu terbuka” (hlm. 48). Hal ini barangkali mirip dengan apa yang dibuat oleh Kardinal Justinus Darmoyuwono, yang mengatakan, “Mungkin orang-orang yang datang itu ada yang menipu kita. Tetapi siapa tahu ada yang memang butuh sekali uang. Toh kita lebih baik ditipu daripada menipu.
Dan pada masa kini, Mgr. Ignatius Suharyo dalam suatu kesempatan Temu Pastoral di Aula KAJ (September 2015) memberikan input untuk para petugas pastoral. Katanya:
“Orang miskin itu butuh makan, pakaian, uang sekolah, obat dan perhatian. Berikanlah kepada mereka apa yang mereka butuhkan saat itu. Urusan pemberdayaan adalah urusan lain atau nanti.”
Sabtu, 9 Juli 2016, RP. Markus Marlon MCS