Pada Jumat, 8 November 2013, telah terjadi bencana kemanusiaan yang disebabkan oleh topan Haiyan yang sangat dahsyat, yang menimpa saudara-saudari kita di Filipina, khususnya di Pulau Leyte dan sekitarnya.
Diperkirakan lebih dari 10 ribu orang tewas, ribuan orang yang masih hilang, ratusan ribu orang harus meninggalkan kota yang hancur karena topan ini dan hidup dalam pengungsian dan di antara para korban adalah anak-anak.
Korban bencana diperkirakan mencapai 4 juta jiwa. Sebagian diantara mereka kini berjuang mengatasi lapar dan haus serta hidup tanpa aliran listrik dan tempat berlindung yang memadai. Untuk membantu mereka yang tertimpa bencana tersebut, maka GEREJA KEUSKUPAN AGUNG JAKARTA mengajak Paroki-Paroki, Komunitas-Komunitas, dan segenap Putra-Putri Bunda Gereja di KAJ untuk berbela rasa dan berbagi dengan cara:
1. Mengadakan Kolekte II di semua Gereja, Stasi dan Kapel pada Sabtu-Minggu, 16-17 November 2013 yang diperuntukkan bagi bantuan bencana tsb. Apabila pada hari tersebut paroki sudah mempunyai komitmen dengan pihak lain, maka kami serahkan pada kebijakan paroki untuk menyelenggarakan di waktu lain.
2. Komunitas-komunitas Kategorial dapat ikut serta dalam gerakan solidaritas ini dengan upaya penggalangan dana yang disesuaikan dengan waktu pertemuan mereka.
3. Bagi mereka yang secara pribadi terpanggil untuk berbela rasa dapat melalui ke dua wadah di atas, atau jika dalam jumlah besar dapat melalui rekening Keuskupan Agung Jakarta.
4. Seluruh hasil Kolekte dan Penggalangan Dana agar dikirimkan ke Ekonomat Keuskupan Agung Jakarta melalui transfer:
Bank BCA, KCP Jl. Biak
No. Rek. 544-0305778
An. Keuskupan Agung Jakarta
Bukti Transfer mohon di Fax: (021) 3441205
Info selengkapnya terkait Penggalangan Dana ini Hubungi:
Ekonomat KAJ, (021) 3519193, eks. 410
5. Hasil penggalangan dana ini akan diteruskan kepada Gereja Katolik Filipina, khususnya kepada keuskupan-keuskupan yang berada di wilayah bencana tersebut.
6. Hendaknya dimasukkan Doa Khusus ke dalam Doa Umat dalam Perayaan Ekaristi untuk para korban baik yang meninggal atau yang menderita.
Demikian pemberitahuan kami. Semoga kesediaan kita untuk berbela rasa dan berbagi dapat meringankan penderitaan saudara-saudara kita yang sedang tertimpa bencana. Terima Kasih.
Hi Orang Muda Katolik!
Mari berkumpul bersama merayakan penutupan tahun iman! “OMK Gathering 2013: The Joy of Indonesian Catholic Youth” Entry Pass Gratis sudah sangat TERBATAS!
Segera hubungi: Natalia 089693745373 (Jkt Utara -Pluit) Veliska 082211992907(Jkt Timur), Yoseph 081283821532 (Jkt Utara dan Unika Atma Jaya), Larry 08997469889 (Jkt Pusat), Hanny 081381910661 (Jkt Barat), Claudia 081382386492 (Jkt Selatan), Felicia 085946800264 (Tangerang), Rano 081808187754 (Bekasi)
atau E-Mail nama, HP & Paroki ke omkgathering@yahoo.com
Waktu: Sabtu, 23 November, 11.00-19.00
Tempat: Skenoo Hall, Gandaria City Performances: ImagoDei, Light of Jesus Worship, Nugie, GAMSta, St. Ursula, Tarakanita, Pangudi Luhur, Archangeli Epsilandri, etc .
Dialog & Misa konselebrasi bersama: Stanislaw Cardinal Rylko dari Vatikan (ketua Dewan Kepausan utk Kerawam dan Kepemudaan Vatikan), Mgr Cosmas M. Angkur OFM, Mgr Petrus C. Mandagi MSC, Mgr Y. Hardjosusanto MSF, & Mgr J. P. Saklil.
Thanks and see you there,
Berkah Dalem
Rapat Kerja Komisi-Komisi Dan Pengurus Pemikat Kaj
Wisma Samadi Klender, Jum’at-Minggu, 25-27 Oktober 2013
“Saya meyakini bahwa perjumpaan ini adalah persis untuk penegasan bersama. Semoga perspektif ini dapat menjadi cakrawala pembicaraan kita”. Demikian dikatakan Uskup Agung KAJ MGr. I. Suharyo ketika memberikan pengantar pada pembukaan Rapat Kerja Komisi-komisi dan Pemikat KAJ yang diselenggarakan di Samadi Klender, 25-27 Oktober 2013. Raker tersebut dihadiri oleh 55 peserta yang terdiri dari para ketua komisi dan pemikat beserta para pengurus, Kuria KAJ, Tim Karya Pastoral KAJ dan panitia penyelenggara. Membuka pengantarnya Bapak Uskup menyapa dan berterima kasih kepada bruder, suster para peserta muda yang dengan satu dan lain cara turut mengembangkan karya pastoral di keuskupan agung Jakarta.
Lebih lanjut Mgr Suharyo memaparkan adanya tiga hal yang dapat diperhatikan dalam mengembangkan karya pastoral, yakni jati diri Gereja, kualitas dan gerakan. Pertama, jati diri Gereja merupakan hal penting karena dapat memberi arah pada pilihan-pilihan dan dapat dipakai untuk memilih prioritas. Bila gagasan Gereja sebagai communio yang pernah dikemukakan beberapa waktu yang lalu tersebut dieksplisitkan menjadi gereja sebagai gerakan, maka hal ini adalah untuk menunjukkan adanya usaha menjadi semakin baik. Namun istilah gereja sebagai gerakan tersebut berdasarkan teologi alkitabiah adalah mengenai Kerajaan Allah yang tidak statis dan memang ‘gerakan’.
Sementara menurut buku, Gereja sebagai dinamika adalah gereja yang bergerak terus menuju sesuatu yang tidak kelihatan. “Tentu ada banyak hal yang dapat dibicarakan tentang eklesiologi, tetapi SPIRITUALITAS APA yang ingin kita suburkan di KAJ, karena spiritualitas ini yang menjadi gerakan. Seringkali dipakai istilah spiritualitas inkarnatoris atau inkarnasi, yang intinya adalah Allah telah meninggalkan surga mulia masuk ke dalam hiruk pikuk kehidupan manusia. Yang dipersiapkan dalam sejarah begitu panjang dimulai dengan para nabi akhirnya muncullah AnakNya. Konsekuensinya adalah bahwa dunia ini bukan merupakan sesuatu yang harus ditinggal lari, meskipun menakutkan dan menggetarkan, karena spiritualitas inkarnatoris mengajak kita untuk masuk dalam-dalam ke dalam dunia”, kata Bapak Uskup.
Dalam pengamatannya di tengah umat, sejauh ini yang dimaksud ‘spiritualitas’ adalah doa, rekoleksi, retret yang dicari di tengah dunia yang ramai. Dalam spiritualitas dapat dicari 3 hal: doa, rasa dan budi. Doa atau devosi merupakan sesuatu yang membawa kita ke arah mana. Dalam doa, permohonan damai sejahtera pasti kita doakan. Tetapi pernahkah diPIKIRkan ketika berdoa, orang memohon kegelisahan.
“Di masa sekarang ada istilah ‘zona nyaman’. Bila dikaitkan dengan spiritualitas yang dimaksud, maka sebenarnya kita belum merasa tenteram bila belum menemukan panggilan HATI NURANI yang beku. Dalam praksis dapat kita lihat misalnya, dari retret muncul suatu kegelisahan. Buah kegelisahan dapat menjadi skenario ‘Selubung Perempuan’. Mestinya hati kita seperti hati Yesus yang gelisah. Jadi ada tiga hal: doa, afektif/ rasa dan budi yang dapat menjadi unsur spiritualitas itu”, ungkap Mgr. Suharyo.
Kedua, tentang unsur KUALITAS, Mgr Suharyo memberikan gambaran dengan pengalaman beragama. Kalau orang terlalu banyak berdoa dapat menjadi terlalu saleh. Bila orang tidak memperhatikan intelektualitas dalam iman, pilihannya bisa mengejutkan. Ilustrasinya, ada dokter dan pasien, sang dokter malah meminta pasiennya pergi ke ‘orang pintar’. Melalui ilustrasi tersebut uskup mengarahkan pada pemahaman spiritualitas yang mengandaikan intelektualitas. Supaya dengan intelektualitas itu kita dapat memahami bagaimana dunia ini bermain. Bila tidak, maka pilihan pastoral kita dapat keliru. Dengan pemahaman seperti itu kita dapat mencari cara untuk mencari jalan permainan yang sesuai.
Tentang ‘permainan’ dalam realitas masyarakat, misalnya di bidang hukum, dapat dilihat kekuatan politik ekonomi mempunyai kekuatan dalam merealisasikan pembuatan undang-undang. Pengalaman Bruder Heribertus Sumardjo memperjuangkan Undang-undang Pendidikan adalah kenyataan tersebut, karena ternyata UU yang keluar berbeda. Termasuk UU Tembakau dapat masuk, tentulah merupakan permainan baru.
Unsur ketiga adalah gerakan atau ‘ada yang BERGERAK’ , yakni lembaga dan orang. Dengan unsur ketiga ini barulah suatu ‘gerakan’ itu dapat dikatakan bergerak. Gereja adalah peristiwa, tetapi melalui proses spiritual dan intelektual. Sesuatu dalam iman diterjemahkan secara intelektual dan dilaksanakan dalam tindakan. Kerajaan Allah menjadi real bila digerakkan oleh komunitas dan pribadi.
“Beberapa hari yang lalu saat Rm Adi Prasojo memberi hari studi di Paroki Vianey Cilangkap menceritakan bahwa paroki tersebut tidak dipakai kata SEKSI tetapi TIM. Bagi saya pribadi, SEKSI adalah bahasa organisasi. TIM adalah bahasa gerakan. Itu salah satu contoh. Bagi saya semboyan yang bagus dan terbukti didalami dapat membuat semakin beriman, bersaudara dan berbelarasa. Kalau boleh, rumusan ini jangan diubah, karena merupakan subjudul yang sudah dekat dengan umat”, kata Mgr. Suharyo.
Tentang komisi, sejauh pengetahuan Mgr Suharyo, KWI belum berhasil merumuskan fungsi komisi yang ada di KWI dengan tepat, sehingga pada bulan Nopember akan dibuat suatu assesment. KWI dengan sistem seperti itu akan berjalan terus atau mau membuat assesment, misalnya adakah bentuk lain yang dapat membuat KWI menjadi lebih gesit?. Kalau mau, bagaimana kemungkinan-kemungkinannya? Mungkinkah lebih baik?. Saya duga hal ini juga sama bagi KAJ. Assesment KAJ yang terakhir adalah komisi HAAK dan KERAWAM disatukan, melalui pertimbangan yang tak cukup memakan waktu semalam. Assesment tersebut tentu mempertimbangkan kalau dijadikan SATU akan menjadi lebih ramping dan lebih gesit. Hal ini bukanlah masalah abadi, tetapi hal bisa dipikirkan.
Dalam rangka melayani lebih baik, seperti Vikjen katakan: ‘pusat pastoral itu ada di paroki’. Dalam hal ini Fungsi KOMISI adalah menawarkan pelayanan kepada paroki dan dekenat, bila tidak tentu paroki merasa terlalu dibebani. Seperti vikjen katakan bahwa komisi bukan diatas paroki. Tetapi bagi uskup posisi komisi-komisi adalah menawarkan pastoral. Konsekuensinya adalah Program Komisi harus menjadi terlebih dahulu dibanding Program Paroki. Tentu, peranan komisi dalam rangka mewujudkan cita-cita keuskupan adalah bekerjasama untuk menemukan pelayanan ‘gerakan’ keuskupan. Gerakan pertama pertama adalah gerakan paroki. Gerakan kedua adalah gerakan keuskupan. Contoh Program Keuskupan adalah Aksi Puasa Pembangunan yang dimotori oleh Komisi PSE, dan komisi-komisi yang lain berdiskusi tentang tema apa yang akan diluncurkan KAJ. Pelaksana utama tetap Komisi PSE, namun dalam pelaksanaannya dibantu oleh komisi yang lain.
Melalui satu refleksi bernada canda, uskup melemparkan pertanyaan: Apa sesudah sekian lama nama PSE perlu diubah? Apa unsur ekonomi atau sosialnya? Di ASIA PSE itu tidak ada, yang ada adalah Office of Human Development. Tentang komisi, bagi uskup Suharyo, pertama, Komisi melayani paroki & dekenat. Dan kedua, Komisi membangun bersama arah pastoral dengan fokus pastoral dengan Judul dan subjudul profokatif apa yang dapat menggerakkan menggetarkan orang.
“Terakhir, Bila GEREJA adalah GERAKAN, maka Komisi berperan dalam rangka yang tadi: APA yang paling penting? Yang paling penting adalah KOMUNIKASI. Apa arti komunikasi?Pertama, Komunikasi Communio mesti MEMPERSATUKAN orang dan kegiatan, ini yang akan dicoba dengan SEKAR. Salah satu wujudnya adalah supaya komunikasi dengan komisi-komisi itu lancaar. Kedua, SALING MENEGUHKAN. Contoh: Leaflet TAHUN PELAYANAN. Bila dilihat pada kalimat: MEMBERDAYAKAN (bukan sekedar aksi karitatif …dll…), kalimat ini bukan MENEGUHKAN, malah mengecilkan orang yang suka karitatif. Alangkah lebih baik, misalnya diubah menjadi: ‘Aksi karitatif dan MEMBERDAYAKAN yang memampukan orang …. dll.’ Pokoknya semua kata dan kalimat saya bersifat meneguhkan orang. Contoh lain kata ‘proyek’ itu adalah kata yang tidak bagus. Konotasi kata tersebut adalah menghabiskan anggaran seperti yang ada di departemen. Maka mungkinkah dicari, dipikirkan sungguh-sungguh supaya kata-kata itu meneguhkan, memberdayakan. Kalimat ‘Proyek sosial penanda tahun pelayanan’ di lembar leaflet diganti dengan kalimat profokatif yang lebih bagus. Asosiasinya kira-kira seperti itu. Terima kasih”, kata uskup menutup pengantarnya.
Sejak tahun 2004, Keuskupan Agung Jakarta mengutus beberapa imamnya untuk melayani umat di pegunungan Mapiha, kampung Bomomani, wilayah pedalaman Papua di kabupaten Nabire dan Dogiyai dengan jumlah umat sekitar dua ribu tiga ratus orang.
Karya-karya yang dilakukan amatlah sederhana. Teman-teman itu mendirikan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat, pelatihan di bidang pertanian dan peternakan, asrama dan rumah bina tani untuk anak-anak Papua yang ingin belajar dan melakukan berbagai program kreatif lainnya.
Saudara-saudari yang tinggal di Jakarta dan saudara-saudari yang tinggal di Bomomani menggunakan kata yang sama, misalnya “pendidikan, asrama, bina tani”. Jangan dibayangkan pendidikan, asrama dan pembinaan yang ada di tempat pelayanan itu mirip dengan yang ada di Jakarta. Kata yang dipakai boleh sama, tetapi realitas amat berbeda dan saya tidak sampai hati untuk membahasakannya.
Semuanya itu dijalankan dalam rangka tugas pelayanan kegerejaan yang dimengerti sebagai pewartaan Kerajaan Allah, pewartaan keselamatan. Setelah bekerja beberapa tahun di tempat itu, kepada masing-masing teman ini diberikan nama oleh penduduk setempat yang mereka layani.
Nama Enakidabi diberikan kepada Rama Johan Ferdinand karena menurut pengamatan penduduk setempat semua yang ia kerjakan berhasil dan membawa kebaikan bagi masyarakat. Nama Enanapode mengungkapkan kematangan dalam tindakan sehingga pekerjaan yang baik yang dilakukan oleh pendahulunya menjadi lebih baik. Nama ini diberikan kepada Rama Michael Wisnu. Sedang nama Idegaiyabi diberikan kepada Rama Yustinus Kesaryanto yang sekarang masih berada di Bomomani. Sebelum menyediakan diri untuk diutus ke tempat itu, ia sudah datang lebih dahulu dan melihat keadaan wilayah pelayanannya yang berat dan penuh tantangan. Kendati demikian ia mau datang dan sekarang bekerja dengan gembira di tempat yang tidak bagus yang sudah ia ketahui sebelumnya.
Kehadiran mereka adalah wujud inkarnasi yang amat nyata. Buahnya adalah keselamatan yang amat nyata pula. Ini semua tidak lepas dari dukungan yang besar dari Mitra Misi Domestik (=MMD) yang terdiri dari para awam di Jakarta maupun Papua yang merasa terketuk hatinya untuk ikut mewartakan Kerajaan Allah, membawa keselamatan yang nyata bagi masyarakat pedalaman Papua. Semoga Tuhan semakin dimuliakan dan semakin banyak orang mengalami keselamatan karena pelayanan kita dengan cara yang berbeda-beda. Salam dan Berkat Tuhan untuk Anda semua, keluarga-keluarga dan komunitas Anda. + I. Suharyo. (*)
Dalam rangka gerakan Tahun Iman Gereja universal dan Tahun Persaudaraan KAJ serta membangun persaudaraan diantara para pewarta se-KAJ, Komisi Kateketik, Komisi Kerasulan Kitab Suci dan Komisi Liturgi Keuskupan Agung Jakarta akan menyelenggarakan kegiatan “TEMU PEWARTA IMAN” dengan tema: “Duc In Altum” (Luk 5:2-6).
Kegiatan ini ingin mengumpulkan kader-kader awam paroki (Katekis, prodiakon dan pemandu lingkungan) yang bertujuan membangun semangat dan motivasi sebagai pewarta iman, meningkatkan pengetahuan iman akan Yesus Kristus dan menumbuhkembangkan keterampilan pewarta iman yang makin terampil, kreatif dan inovatif.
Kami mohon bantuan Para Romo untuk memberikan perhatian dan dukungan dengan kegiatan ini dengan mengutus kader-kader awamnya di paroki (5 orang katekis, 5 orang prodiakon dan 5 orang pemandu lingkungan) untuk turut serta dalam kegiatan tersebut. Kegiatan Temu Pewarta Iman dilaksanakan:
Hari/Tanggal: Minggu, 3 November 2013
Pukul: 07.00-15.30 WIB
Pkl. 07.00-08.30: Pendaftaran dan registrasi
Tempat: Kompleks Sekolah SMP Santa Maria Jl. Ir. H. Juanda No. 29 Jakarta Pusat No. Telp. 3522147 RANGKAIAN ACARA
07.00-08.30 : Registrasi
08.30-09.00 : Persiapan Misa
09.00-10.00 : Misa
10.00-10.30 : Briefing Lomba
10.30-12.30 : Lomba/Festival (Babak Penyisihan)
12.30-13.00 : Makan Siang
13.00-14.00 : Lanjutan Lomba/Festival (babak final)
14.00-15.00 : Talk show
15.00-15.30 : Tanya jawab
15.30 : Penutup – Sayonara
Demikian pemberitahuan kami, kiranya menjadi perhatian bersama. Atas bantuan, perhatian dan kerja sama para Romo kami mengucapkan terima kasih. Tuhan memberkati.
Berkah Dalem
Kerjasama Komisi Liturgi, Komisi Kateketik, dan Komisi Kerasulan Kitab Suci KAJ
RD. V. Rudy Hartono
RD. Romanus Heri Santoso
RD. H. Sridanto Aribowo
Itulah salah satu cuplikan lagu drama musikal “SELUBUNG PEREMPUAN” ‘…Ketika hati nurani tak didengar lagi’
Acara ini sukses digelar pada 15-16/10/2013 PK.19.30 di Graha Bhakti Budaya, TIM – Cikini. Acara ini diadakan untuk penggalangan dana Pembangunan dan renovasi SAMADI sebagai PUSAT PELAYANAN PASTORAL KEUSKUPAN AGUNG JAKARTA.
Drama Musikal tersebut menghadirkan Uskup Agung Jakarta, Mgr. I. Suharyo, Bapak dan Ibu Lies Purnomo Yusgiantoro, Ibu Martha Tilaar, Ibu Ira Lukman serta didukung oleh Peragaan Adi Busana ANNE AVANTIE
Beberapa Artis-artis yang turut terlibat: RIA PROBO (Berperan sebagai Intan), JILL GLADYS dan BIANCA CARMELITA (Berperan sebagai Jean), DONA ARSINTA (Berperan sebagai Nancy), FANNY RAHMASARI (Berperan sebagai Mbok Ayu), LISA A. RIYANTO (Berperan sebagai Suara Hati), RIO CLAIRES dan ALEXANDER KEVIN HARUN (Berperan sebagai Adam) dsb
Galeri Foto-Foto Drama Musikal ini dapat ditemukan juga di Galeri-KAJ.com
Pada 11-12 Oktober 2013 di Hotel Royal Raya, Anyer, sejumlah 34 katekis dari 14 Paroki seBanten berkumpul bersama untuk mendapatkan pembekalan dari dua orang Pakar di bidangnya, yaitu Rm. Driyanto, Vicaris Yudicial Keuskupan Bogor, dan Rm. Rudy Hartono, Ketua Komisi Kateketik KAJ.
Penyelenggaraan acara ini dimungkinkan berkat kerjasama dari Kanwil Bimas Katolik Provinsi Banten dan Forum Pemimpin Gereja Katolik (Forpijak) Dekenat Tangerang.
Hari pertama rekoleksi, selama dua sesi Rm. Driyanto menyampaikan aneka pengajaran dan contoh permasalahan Hukum Gereja, dengan pesan inti tentang Chronosdan Kairos di kehidupan nyata kita. Kita semua sering kali terjebak pada fenomena Chronos, tanggal, detail suatu peristiwa, beserta nuansa emosi di dalam berbagai peristiwa tersebut. Peristiwa yang bernuansa emosi negatif, seperti kesedihan, kekecewaan, keterhinaan, kemarahan, ketertolakan, semuanya begitu melekat dalam memori emosi kita. Semua itu membuat kita mudah kehilangan sukacita hidup, arah hidup, tidak bias bergerak maju, terpenjara dendam, dll.
Padahal, kalau kita bias merefleksikan dengan baik rangkaian peristiwa tersebut, kita bias melihat suatu rangkaian kejadian hdup yang bukan kebetulan. Kita sekarang ini ada, menjadi diri kita seperti saat ini, karena rangkaian kejadian di masa lalu. Kalau kita bias sampai pada kesadaran tersebut, maka kita akan memandang aneka peristiwa tersebut sebagai Kairos, momen, yang berdampak satu sama lain, membuat kita bergerak maju, berubah dari kondisi awal menjadi kondisi terkini. Dengan pertolongan pencerahan dari Roh Kudus, kita bias berkata, “segala sesuatu indah pada waktunya.”
Dalam melihat peristiwa kehidupan, kita juga hendaknya tidak terjebak dalam pasal-pasal hukum secara mati, kaku, stereotype. Hukum itu dibuat untuk membantu kehidupan manusia. Misalnya dalam perkara Tata Ibadah; ada suatu fenomena yang aneh di mana ada sebagian umat yang merasa Liturgi Ekaristi itu kering, membosankan, perlu diubah, perlu divariasikan, sementara dalam Ibadat umum oleh kaum awam, yang semestinya berlangsung lebih fleksibel, justru dibuat mengikuti Tata Ibadah Formal yang berlebihan. Ini merupakan contoh penerapan hokum Gereja yang salah kaprah.
Di hari kedua rekoleksi, walaupun hanya satusesi, Rm Rudy Hartono berhasil mengingatkan para peserta akan pentingnya Spiritualitas ber-Katekese, dengan meneladani Yesus sendiri, sang Katekis Agung. Rm Rudy menggugah kesadaran akan kondisi dunia yang krisis iman saat ini, sehingga Sri Paus menetapkan hadirnya Tahun Iman. Di dunia barat, seperti di Jerman, orang-orang katolik secara terang-terangan menyatakan diri untuk meninggalkan Gereja Katolik karena mereka merasa tidak mendapatkan manfaat apa-apa dari iman mereka.
Mereka melihat di Negara-negara yang mengklaim dekat dengan Tuhan justru muncul fanatisme, konflik dan terorisme. Di Negara-negara yang tidak menempatkan Agama sebagai hal penting, justru tampak kehidupan masyarakat lebih berbudaya, lebih maju, lebih aman. Di Jerman mereka yang beragama Katolik justru terkena pajak lebih besar. Jadi buat apalagi punya agama / iman?
Catechein, Catecheo, yang artinya Menggemakan kebawah, tidak dapat lepas dari Pengajaran. Yesus mendapat sebutan Rabbi, Rabuni, Guru. Namun pengajaran yang dimaksud bukanlah pengajaran yang melulu bermuatan pengetahuan. Katekese harus bermuatan PengajaranIman + Sharing PengalamanIman.
Iman itu harus menyentuh Perasaan dan juga Kebenaran. Perasaan paling tersentuh manakala bertemu dengan Kasih. Kasih harus menjadi pokok sharing iman, menjadi Inti Spiritualitas. Kebenaran itu membuat pemilik iman tidak tergoyahkan, bias terus bertumbuh dan berkembang karena Kebenaran Iman juga bersifat Inspiratif dan Transformatif. Paulus merupakan contoh besar Pengajaran Iman yang benar. “Saya Tahu Kepada Siapa Saya Percaya” membuat Paulus terus menerus digerakkan mewartakan Injil Keselamatan kemana saja Tuhan menggerakkan dia. Metode Katekese ala Yesus
Yesus mengajar dalam aneka bentuk katekese: berkhotbah, melayani, baik untuk umum maupun pribadi-pribadi, memenuhi kebutuhan umat. Yesus menyapa aneka jenis manusia, dengan pengajaran yang bersifat Apolegetik, Provokatif, Ia sangat menguasai Firman dan sangat peka terhadap kebutuhan. Khotbah Yesus juga beraneka ragam bentuknya; Ilustrasi, Narasi, Khotbah/Pengajaran Tematik, Diskusi, dll.
Dengan demikian para katekis juga hendaknya memperkaya diri dengan aneka bentuk pengajaran. Sesudah BIA, BIR, pikirkan juga BIOTA; Bina Iman Orang tua. Krisis Iman yang terjadi di dunia saat ini tidak dapat lepas dari lemahnya iman para orangtua.
Jangan pernah berhenti pada pencapaian katekese di masa lalu. Teruslah memperbaharui diri dengan bahan-bahan katekese yang baru dan juga aneka media berkatekese di jaman ini.