Artikel Renungan Uskup Agung Jakarta, Mgr. I Suharyo ini, telah diterbitkan dalam Edisi Cetak Info Gembala Baik Agustus 2014. Silahkan lihat versi PDF-nya di Info Gembala Baik 07/03/2014
Kebaktian kepada Hati Yesus Yang Mahakudus tersebar luas berdasarkan penglihatan-penglihatan yang diterima oleh Santa Margareta Maria Alacoque (1647-1690). Kebaktian ini terpusat pada “HATI”, yang memberi tempat luas untuk perasaan dan afeksi. Pengalaman dan perasaan manusiawi Yesus, khususnya kesengsaraan-Nya direnungkan dengan rasa haru dalam waktu yang lama, sampai seakan-akan orang beriman sendiri merasakan luka-luka tubuh dan jiwa Kristus dalam jiwa dan badan mereka sendiri. Orang terharu terutama karena kesengsaraan jiwa Yesus menunjukkan bahwa cinta-kasih-Nya yang tanpa batas tidak diterima oleh orang-orang berdosa. Oleh karena itu tumbuh keinginan dan kehendak yang sangat kuat untuk membalas kasih Yesus dengan cinta-bakti yang bernyala-nyala.
Setelah Paus Pius IX (1856) memasukkan pesta Hati Kudus Yesus ke dalam penanggalan liturgi, beberapa Paus menulis ensiklik berkenaan dengan pesta ini. Salah satu yang paling penting ialah yang ditulis oleh Paus Pius XII, yang menyatakan bahwa sembah bakti kepada Hati Kudus Yesus sangat bernilai dan penting dihayati oleh orang beriman.
Bentuk-bentuk kebaktian yang biasa dijalankan ialah Pesta Hati Yesus Yang Mahakudus, (sejak Pius IX), perayaan hari Jumat pertama (sejak St.Margareta Maria Alacoque) yang terdiri dari jam kudus (dilakukan pada hari Kamis malam menjelang Jumat pertama) untuk mempersatukan diri dengan Yesus yang menderita dan ditinggalkan seorang diri di taman Getsemani, Misa dan komuni silih atas dosa terhadap Yesus dalam Sakramen Mahakudus yang tidak diperhatikan atau malahan dilukai Hati-Nya oleh dosa-dosa.
Salah satu teks Kitab Suci yang sangat erat berkaitan dengan hari raya ini ialah Yoh 19:31-37, yang menceritakan lambung Yesus ditikam, dan dari sana mengalir darah dan air (19:34). Peristiwa ini begitu penting dan ditekankan oleh Yohanes sampai ia mengatakan: “Dan orang yang melihat hal itu sendiri yang memberikan kesaksian ini dan kesaksiannya benar, dan ia tahu bahwa ia mengatakan kebenaran, supaya kamu juga percaya” (19:35). Peristiwa ini menjadi lambang yang menyatakan arti wafat Yesus di kayu salib, yang dapat dimengerti dengan baik kalau kita dapat menangkap lambang-lambang yang dipakai.
Pesta Hati Kudus mengajak kita untuk merenungkan sejarah hidup kita sebagai sejarah Allah yang memper-hati-kan kita dengan kasih-Nya yang tidak mengenal batas. Kasih itu tidak membiarkan kita berjalan menurut arah yang kita pilih sendiri. Kasih Allah mendidik kita, seperti dulu kasih yang sama mendidik umat Allah Perjanjian Lama (Hos 11:1-9) agar kita berani mengarungi samudera kehidupan. Kasih itu mendorong dan menggerakkan hati kita, agar kita pun selalu siap untuk membagikan kasih. +Mgr. Suharyo (**)
Demikian ajakan Majelis Pendidikan Katolik Keuskupan Agung Jakarta (MPK-KAJ) dengan mengadakan Pelatihan Guru TK se-KAJ pada Jumat, 12 September 2014 di Aula TK St. Maria, Juanda Jakarta Pusat. Hal ini penting mengingat Guru TK adalah salah satu Panutan dan Model bagi anak-anak sejak dini. Selain itu pelatihan ini semakin penting juga, agar para Guru bisa dipercaya orang tua untuk menjadi partner dalam mendidik anak-anak mereka dalam terang iman Katolik.
Pelatihan ini menghadirkan narasumber Bpk. Fidelis Waruwu. Sangat diharapkan Suster/Ibu Kepala TK mengutus seluruh gurunya ikut pelatihan ini. Info hubungi: Sr. Margriet, PIJ (08211 0480 818); Sr. Elisabeth, PIJ (0813 1034 6599); Ibu Vincent (08788 4552 467) atau Ibu Laurentia (0815 1108 5051). (**)
Gereja dipanggil menciptakan budaya pelayanan penuh kasih. Spiritualitas melayani harus membadan dalam ucapan dan tindakan keseharian.
Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) menggulirkan sebuah gerakan untuk semakin menghadirkan wajah Gereja yang melayani. Dalam Arah Dasar Pastoral (Ardas) KAJ 2011- 2015, tahun 2014 ini, umat KAJ diajak meng hayati dan menghidupi Tahun Pelayanan. Gerakan yang baru digulirkan ini merupakan salah satu upaya KAJ menampilkan jati diri Gereja.
Menurut Vikaris Jenderal KAJ ini, jati diri Gereja dapat dilihat dalam empat hal. Pertama, cita-cita atau visi dan misi Gereja. Kedua, struktur Gereja. Gereja Katolik dikenal memiliki struktur yang amat kuat, dari kepausan hing ga lingkungan-lingkungan. Ketiga, leadership atau kepemimpinan. “KAJ me rumuskan kepemimpinan sebagai jati diri Gereja dalam dua kata yakni par tisipatif dan transformatif,” urai Romo Subagyo. Gereja sebagai sebuah per sekutuan umat beriman dan gerakan mewujudkan Kerajaan Allah, harus melibatkan banyak pihak dalam mengambil kebijakan. Gereja juga menjadi lembaga yang terus-menerus bertransformasi, mengubah menjadi lebih baik. “Maka, tata kelola paroki harus bergerak menuju ke arah yang lebih baik,” imbuhnya.
Dan, keempat, adalah culture atau budaya lembaga. Gereja harus menciptakan budaya penuh kasih dan nyaman bagi siapapun. Umat harus dibuat senang dan bersyukur, karena sudah menjadi bagian Gereja. Maka, gerakan untuk menciptakan pelayanan prima di paroki-paroki merupakan upaya untuk menghadirkan suasana Gereja yang semakin dipenuhi kasih dan disemangati roh pelayanan.
Berikut petikan wawancara dengan Romo Subagyo:
Mengapa pelayanan prima?
Pelayanan prima merupakan salah satu cara untuk membentuk dan menghadirkan jati diri Gereja. Pelayanan prima ini adalah budaya yang me njadi ciri khas dari sebuah lembaga. Nah, salah satu yang khas dari lembaga Gereja adalah semangat melayani. Kadangkala, kita begitu fasih berbicara tentang semangat kasih, spiritualitas pelayanan, namun semangat dan spiritualitas itu tidak pernah membadan dalam ucapan dan perilaku kita.
Bagaimana pelayanan prima ini diwujudkan?
Saat ini, hampir semua lembaga swasta ataupun instansi pemerintah berlomba-lomba menghadirkan pelayanan yang baik. Lalu, bagaimana dengan pelayanan di paroki-paroki? Kadangkala, pelayanan di sekretariat paroki tidak lebih baik dari kantor kelurahan. Birokrasinya berbelit-belit, dan pe layanannya juga tidak memuaskan.
Melihat kondisi ini, menurut saya, diperlukan sebuah transformasi, sebuah perubahan. Tidak mengubah semua, tetapi mengubah menjadi semakin lebih baik. Dan, proses ini dimulai dari mereka yang berada di garis depan pelayanan umat, yakni para pegawai sekretariat paroki. Mereka perlu dibekali dengan pola pikir dan keterampilan-keterampilan dalam melayani umat. Mulai dari hal-hal yang paling sederhana, seperti cara menerima telepon, berbusana, menyapa tamu, menghadapi beragam keluhan umat, dan yang lain. Pola pikir mereka juga harus terarah kepada pelayanan yang ramah dan tulus hati.
Saya menyadari, ini akan mengubah budaya atau kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dan sudah mapan selama ini. Tapi, ini harus dilakukan untuk menampilkan Gereja yang semakin ramah, Gereja yang semakin melayani. Melalui pelayanan yang prima dari para pegawai sekretariat paroki, diharapkan umat akan semakin merasakan kehadiran Allah secara nyata.
Apa harapan terhadap gerakan ini?
Gerakan yang baru dimulai ini bisa memberikan dampak yang besar.Semo ga gerakan ini juga terus bergulir di paroki-paroki di KAJ, atau bahkan me nular ke keuskupan lain. Saya yakin, Roh Kudus akan terus berkarya, mungkin dengan cara-cara yang sederhana, untuk mengubah wajah Gereja sebagai persekutuan dan gerakan yang semakin melayani. Karena, jati diri Gereja adalah persekutuan umat beriman yang melayani.
Dalam menggalang kerjasama antar paroki, menghidupkan komunitas lansia paroki dan menyalurkan hobi para lansia, maka Komunitas Pastoral Adi Yuswa (Lansia) Siemon Hanna, mengundang para lansia mengikuti Lomba Paduan Suara memperebutkan Piala Bergilir Uskup Agung Jakarta pada Sabtu, 13 September 2014, Pk. 09.00 di Aula Katedral Jakarta. Pemenangnya akan tampil dalam Misa Lansia Sedunia 1 Oktober 2014. Tambahan Hadiah:
Juara 1: Piala dan dana pembinaan Rp. 5.000.000,-
Juara 2: Piala dan dana pembinaan Rp. 3.000.000,-
Juara 3: Piala dan dana pembinaan Rp. 1.500.000,- Tema Lomba: Semangat Berkarya tak Lekang Usia Lagu yang dilombakan:
Tingkat Dekenat maupun KAJ: Menyanyikan 1 Lagu Wajib dan 1 Lagu Pilihan
Lagu Wajib: Hymne “Komunitas Pastoral Adi Yuswo KAJ. Dinyanyikan 2 kali, dimana bagian pertama 1 suara dan pengulangannya 4 Suara (SATB)
Lagu Pilihan: Diaransemen SAT, Bila ada anggota bersuara B yang merasa ketinggian untuk menyanyikan suara T, bisa ikut menyanyikan melodi suara S. Lagu Pilihannya:
– Mars Lansia, Cipt. CB. Hardjowiyono (1 kali saja)
– Masa Tua Bahagia, Cipt. Christoforus (1 kali saja)
– Sampai Masa Tuamu, Cipt. Drs. Ec. Elly (2 kali) Ketentuan:
Minimum berjumlah 25 orang/grup, maksimum 35 orang termasuk dirigen, namun tidak termasuk pengiring musik.
Pengiring musik tidak harus dari lansia
Dirigen adalah lansia dari grup tersebut
Lagu Wajib dan Pilihan dinyanyikan secara Acapela (tanpa iringan) atau hanya dgn 1 iringan alat musik saja. Di tahap final (Tingkat KAJ) panitia hanya menyediakan Keyboard Yahama.
Nada dasar boleh disesuaikan
Iringan, pakai teks atau tidak, pakaian, dan gerakan/gaya tidak termasuk dalam penilaian.
Panitia memberikan subsidi kepada masing-masing dekenat: Rp. 1.500.000,- dan 1 piala.
Kriteria Penilaian:
Materi Suara, pengolahan suara, blending (suara menyatu, tidak ada yang menonjol) dan ketepatan nada.
Teknik menyanyikan, pengaturan pernafasan, kekompakan dan teknik vokal
Penjiwaan, kesesuaian penampilan/interpretasi lagu terhadap isi maupun nuansa lagu
Info hubungi: Sdr. Clemens Simanullang (0816 1964 585) dan PEMIKAT KAJ: 021-3519193
Bacaan Injil Mat. 22:34-40: 34 Ketika orang-orang Farisi mendengar, bahwa Yesus telah membuat orang-orang Saduki itu bungkam, berkumpullah mereka 35 dan seorang dari mereka, seorang ahli Taurat, bertanya untuk mencobai Dia: 36 “Guru, hukum manakah yang terutama dalam hukum Taurat?” 37 Jawab Yesus kepadanya: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. 38 Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. 39 Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. 40 Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.”
Renungan: Hari ini saya kembali kagum pada kemampuan Yesus merangkum ajaran dan hukum yang ditemui. Rangkuman ajaran itu adalah mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama. “Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi” (Mat 22:40). Rangkuman Yesus ini pasti memudahkan para murid, juga kita, dalam memahami ajaranNya dan membingkai pengajaran kita.
Sebagai seorang murid saya selalu senang kala guru/dosenku memberikan rangkuman materi pengajarannya. Sebaliknya sebel dan males kalau guru/dosen ngajarnya berbelit-belit dan tidak jelas.
Salah satu dosen yang kuingat selalu membuat skema materi pengajaran yang gampang kupahami adalah Rm Sudiarjo SJ. Jujur (maaf ya MoDipo dosen dan sahabatku), lebih mudah membaca skema beliau daripada mendengarkan beliau kala ngajar. Dan untungnya beliau murah hati, selalu meninggalkan skemanya kala istirahat dan aku boleh melihatnya. Aku pun mempelajari skema beliau dan kemudian membuat sendiri setelah selesai kuliah.
Belajar dari Yesus marilah kita belajar merangkum dengan baik segala pengajaran yang kita terima dan merumuskannya kembali sebagai rumusan yang gampang dimengerti. Membuat yang rumit jadi sederhana dan tidak memperumit yang sederhana.
Kontemplasi: Bayangkan Yesus lagi mau dijebak dengan pertanyaan. Yesus tenang dan malah memberi jawaban yang membuat para penjebaknya terkagum2. Coba padankan dengan salah satu pengalamanmu.
Refleksi: Tulislah pengalamanmu kala menanggapi jebakan2 yang pernah kaualami.
Doa: Yesus, terima kasih atas pengajaranMu yang menjadi patokan hidup kami: mengasihi Tuhan dan sesama. Semoga banyak guru/dosen sungguh membantu siswa-siswinya memahami yang diajarkan bukan memperumitnya. Amin.
Perutusan: Aku akan terus belajar mempermudah yang rumit dan tidak menjadikan rumit yang mudah.
Dalam pandangan Gereja Katolik terkait dengan aborsi yaitu kita menolak tegas dilakukannya aborsi. Sudah banyak dokumen Gereja yang berbicara tentang penghargaan atas kehidupan dan bahkan yang secara khusus dan tegas mengatakan menolak aborsi.
Katekismus Gereja Katolik yang dipromulgasikan dalam rangka memperingati 30 tahun pembukaan Konsili Vatikan II (11 Oktober 1992) oleh Paus Yohanes Paulus II meringkas secara padat ajaran Gereja Katolik mengenai aborsi pada nomor 2270-2279. Pertama-tama disampaikan masalah perlindungan terhadap janin, “Hidup manusia haruslah dihormati dan dilindungi secara absolut sejak dari saat pembuahan. Sejak saat pertama keberadaannya, seorang manusia haruslah diakui bahwa dia mempunyai hak sebagai seorang pribadi-diantaranya adalah hak untuk hidup yang merupakan hak yang tidak bisa diganggu gugat bagi orang yang tak bersalah.”
Berikut adalah kisah sikap penolakan Paus Fransiskus terhadap aborsi dengan merencanakan akan mengunjungi kuburan para bayi korban aborsi di Korea Selatan. Selama perjalanannya ke Korea Selatan, Paus Fransiskus mengunjungi dan berdoa di Pemakaman untuk Bayi-bayi yang di aborsi” sebagai bagian dari kunjungan ke Wisma Kkottoghnae untuk orang sakit.
Juru bicara Vatikan, Pastor Federico Lombardi juga menyampaikan dalam konferensi pers belum lama ini bahwa Bapa Suci akan memberikan pidato dalam bahasa Inggris dan akan mengikuti adat istiadat setempat seperti melepas sepatu sebelum memasuki tempat-tempat tertentu.
Wisma Kkottongnae terletak di Keuskupan Cheongju, Korea Selatan, yang didirikan tahun 1976 oleh Pastor John Oh, pendiri Saudara-Saudari Yesus Kkottongnae.
Imam itu mendirikan wisma itu terinspirasi oleh seorang pengemis jalanan bernama Choi Dong Gwi yang memberi makan kepada 18 pengemis yang sakit meskipun ia sendiri mengalami cacat fisik.
Wisma ini memberikan bantuan kepada para tunawisma, orang cacat, dan pecandu alkohol. Saat ini ia melayani sekitar 5.000 orang.
Pemakaman untuk bayi-bayi aborsi tersebut terletak di belakang wisma itu dan termasuk sebuah patung Keluarga Kudus yang dikelilingi oleh salib-salib yang dipasang di makam-makam para bayi aborsi.
Diumumkan oleh Vatikan pada Maret, Paus akan mengunjungi Korea dari tanggal 13 hingga 18 Agustus menyusul undangan dari Presiden Republik Korea Selatan, Park Geun-hye, dan para uskup dari Korea.
Bertajuk “Rise Korea, clothe yourself in light, the Lord’s glory shines upon you,” kunjungan Paus itu dimulai dengan keberangkatannya dari Roma pada malam Rabu (13/8). (ucanews.com)
Di tengah terik mentari dan kencangnya tiupan angin, 6 Agustus 2014 Mgr. Ignatius Suharyo, Uskup Agung Jakarta memberkati Gua Maria di Rutan Kelas 1 Cipinang Jakarta. Demikian kencangnya angin sehingga lilin altar pun padam semua. “Tidak perlu harus dinyalakan kembali lilin itu karena pasti akan mati lagi. Yang penting mari kita hidupkan hati kita masing-masing merayakan pemberkatan Goa Maria Pengantara Segala Rahmat ini,” ajak Mgr. Suharyo sebelum meneruskan kotbahnya yang didampingi oleh Rm. Yohannes Subagio (mantan Vikjen KAJ), Rm. Antonius Gunardi MSF dan Rm. Antonius Suyata MSF.
Mgr. Suharyo mengingatkan kita bahwa dalam Pesta Penampakan Kemuliaan Tuhan Yesus Kristus di Gunung Tabor, Yesus berpesan agar Petrus dan kawan-kawannya tidak menceritakan kejadian itu. Sebab kemulian yang mereka lihat itu belum sempurna. Justru kemuliaan itu sempurna setelah penyaliban Yesus. Tampaknya paradoksal tetapi sebenarnya tidak. Kita menganggap paradox karena hal mulia itu kita bayangkan dan artikan sebagai sesuatu yang luar biasa. Kemuliaan Tuhan itu justru tampak juga dalam kelemahan, kekalahan dan penderitaan. Kemuliaan itulah yang disaksikan Petrus dan kawan-kawan hingga di kayu salib, penderitaan yang begitu hebat tetapi yang menampakkan kasih yang begitu sempurna.
Kasih sempurna seperti itu pula yang pernah diungkapkan oleh Beata Theresia Benedicta dari Salib. Gadis berdarah Jahudi – Jerman ini sejak 14 thn telah memutuskan untuk tidak percaya lagi pada Tuhan dan tidak mau berdoa lagi. Padahal dia lahir dari keluarga yang sangat agamis agama Yahudi. Setelah dewasa dia menjadi perawat di PD I dan mahasiswa ilmu filsafat. Pada suatu hari dia melayat temannya yang baru kehilangan suami karena sakit. Dalam catatan harian dia menulis :”Saya baru melihat ketabahan kekuatan dan ketabahan ilahi dalam diri temannya yang kehilangan suami.” Pada saat itu juga keputusannya yang dia buat pada usia 14 thn dia ditinggalkan. Dia menjadi Katolik dan masuk ke pertapaan Karmel. Theresia menjadi korban perang karena sebagai orang Yahudi dia diseret dan ikut dibantai. Dicatatan hariannya yang lain dia tuliskan :”Kekuatan ilahi dan ketabahan ilahi dalam diri teman saya itu dianugerahkan Kristus bagi orang-orang yang mengalami salib agar mampu disatukan dengan salib Kristus sendiri.”
Mgr. Suharyo menandaskan untuk bisa mengalami kemulian Allah, tidak perlu dicari jauh, tidak perlu ke Gunung Kawi atau ke Gunung Tabor. Kalau kita punya kepekaan hati maka akan sangat mudah kita dapatkan di kehidupan sehari-hari. Bahkan St. Irenius mengatakan :”Kemuliaan Allah adalah manusia yang hidup!” Jadi kemulian Alllah dapat kita lihat dan harus kita lihat di dalam diri saudara-i kita siapa pun dia dan dalam keadaan apapun dia. Kita adalah cermin kemuliaan Tuhan. Seperti cermin ada yang baru, ada yang kabur dan bahkan ada yang sudah tidak memberikan cermin. Tugas kita adalah memulihkan kembali cahaya cermin itu. Itulah yang dilakukan oleh Komunitas Persaudaraan Rosario dengan mempersembahkan Goa Maria Pengantara Segala Rahmat di Rutan Cipinang ini.
Goa ini dipersembahkan untuk mencerahkan kembali cermin itu. Maria adalah Ratu kita, dan dia menyimpan segala peristiwa hidup yang dialaminya di dalam hatinya. Seperti Maria, banyak pengalaman dan peristiwa hidup yang tidak kita mengerti. Maria tidak tahu pasti tugas yang akan dia emban ketika dipanggil Allah menjadi bunda Yesus. Tetapi bagi Maria peristiwa apapun yang melintas di hidupnya dia yakin pasti ada rencana Tuhan disana yaitu supaya cermin itu terang kembali.
Dalam Bahasa Jawa di Goa ini kita memiliki kesempat untuk eng, ing, ung. Kita duduk tenang berdoa dan berdevosi. Atau kita sekedar duduk berdiam diri dalam hening. Dalam keheningan kita bisa kembali bening sehingga kita dimampukan untuk kembali ke jati diri kita dan tujuan arah hidup kita yaitu menuju gunung suci tempat kemuliaan itu.
Sejalan dengan harapan Mgr. Suharyo, kepala rutan Cipinang Agus Haryanto juga berharap Goa Maria Pengantara Segala Rahmat dapat membawa manfaat dan menambah keimanan bagi orang Kristen khususnya umat Katolik. “Karena itu saya berharap semua pihak menjaga dan merawat tempat ibadah ini agar tetap dapat digunakan pihak-pihak yang membutuhkan layanan,” ungkap Agus dalam pidato peresmian pembukaan goa itu.
Pengusiran orang Kristen di Mosul, Irak oleh Khalifah Islam Irak-Suriah serta peran aktif Gereja Saint Porphyrius di Gaza dalam menolong pengungsi Muslim Palestina mungkin membuat kita penasaran asal mula munculnya orang Kristen ada di kawasan Asia Barat Daya (atau lazim disebut sebagai Timur Tengah).
Sebenarnya sebagian besar lokasi kisah-kisah dalam Injil berada di Timur Tengah. Yesus lahir di Betlehem – kini ada di kawasan Negara Palestina. Dibesarkan di Nazaret – kini ada di Israel dan mati di Yerusalem – kini disebut Yerusalem Timur. Menurut Injil Matius, Yesus ketika masih bayi mengungsi ke Mesir, Afrika bagian utara. Ada petilasan di Kairo yang didedikasikan kepada Keluarga Kudus ini.
Setelah Yesus naik ke surga, murid-murid-Nya menyebar ke penjuru dunia. Kisah Para Rasul mencatat kejadian yang menarik. Pada Pasal 2:7-11 tertulis, “Mereka semua tercengang-cengang dan heran, lalu berkata, ‘Bukankah mereka semua yang berkata-kata itu orang Galilea? Bagaimana mungkin kita masing-masing mendengar mereka berbicara dalam bahasa kita sendiri, yaitu bahasa tempat kita dilahirkan; kita orang Persia, Media, Elam, penduduk Mesopotamia, Yudea dan Kapadokia, Pontus dan Asia, Frigia dan Pamfilia, Mesir dan daerah-daerah Libya yang berdekatan dengan Kirene, pendatang-pendatang dari Roma, baik orang Yahudi maupun penganut agama Yahudi, orang Kreta dan orang Arab, kita mendengar mereka berbicara dalam bahasa kita sendiri tentang perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan Allah.’”
Setidaknya ada 15 bangsa dan negara disebutkan dalam lima ayat tersebut. Persia, Media, Mesir, dan Libya adalah daerah-daerah yang membentang dari Timur Tengah hingga Afrika bagian utara. Secara spesifik disebut juga etnis Arab dalam cerita tentang pencurahan Roh Kudus pada perayaan Pentakosta tersebut.
Jika Paulus menyebarkan Injil Kristus mengarah ke Barat, ke pusat pemerintahan Romawi – kota Roma – dan akhirnya menyebar ke seluruh Eropa. Rasul-rasul tercatat menyebarkan kekristenan ke Timur. Matius dikenal sebagai penyebar kekristenan di Suriah dan Persia (Partia – kini Iran), Thomas dikenal menyebarkan Injil sampai ke India. Rasul Filipus sangat dihormati di kalangan Kristen di Gaza dan Ethiopia.
Setelah penganiayaan para pengikut Kristus meningkat seiring dengan kematian Yesus Kristus – juga kebangkitan dan kenaikan-Nya ke surge – pusat kekristenan bergeser ke Antiokhia. Sebuah kota metropolitan di kekaisaran Roma. Kini Antiokhia dikenal sebagai Antakya yang terletak di perbatasan Turki dan Suriah.
Banyak di antara Gereja-gereja di Timur mengaku sebagai anak Gereja dari Gereja Antiokhia ini. Misalnya, Gereja Ortodoks Siria (kini dianut banyak orang Kristen Suriah, Irak, dan Iran), Gereja Khaldean (banyak dianut penduduk Mosul, Irak), Gereja Ortodoks Yunani (mayoritas penganut berada di Turki, Palestina, Yordania), Gereja Koptik di Mesir dan Ethiopia, dan Gereja Armenia (banyak dianut di Iran dan Armenia).
Pada abad keenam, lahirlah agama Islam di jazirah Arab dan dianut oleh suku-suku di daerah itu. Agama baru ini membawa kesatuan warga di wilayah yang selama ini dirundung pertikaian. Seiring dengan perluasan kekhalifahan kondisi ini memengaruhi Gereja-gereja di kawasan Timur Tengah walaupun tidak ada pemaksaan untuk menganut kepercayaan baru. Sebab, Islam menghormati Yesus sebagai salah satu Nabi Allah.
Namun, keadaan menjadi berat bagi kekristenan Timur Tengah terutama oleh perkembangan teologi Kristen dan timbul berbagai mazhab yang diperparah dengan persaingan antara Gereja Timur dan Barat. Pada 1054, Gereja yang berpusat di Roma dan yang berpusat di Konstantinopel (kini Istanbul—Turki) memutuskan untuk berpisah.
Tidak lama setelah pemisahan tersebut, terjadi Perang Salib – perang perebutan wilayah antara kerajaan-kerajaan di Eropa melawan Khalifah Islam. Perang-perang tersebut benar-benar menyengsarakan orang-orang Kristen di Timur Tengah.
Bagi orang Kristen Timur Tengah, Perang Salib tidak membawa keuntungan apa pun. Di mata prajurit Barat orang Kristen Timur Tengah adalah mereka yang menyimpang dari ajaran yang benar.
Terjadi pembunuhan besar-besaran baik atas orang-orang Islam maupun atas orang-orang Kristen Timur Tengah, antara lain di Antiokhia (1098), Yerusalem (1099), Kaisarea (1101), Beirut (1110), Edessa (1146), Yerusalem (1244), Antiokhia (1268), Tripoli (1289), Akko (1291), dan Aleksandria (1365).
Akibat lainnya adalah hubungan antara orang Kristen Timur Tengah dengan penguasa Islam setempat. Sebab, mereka dicurigai sebagai orang yang dahulu pernah mendukung musuh – pasukan Salib karena dianggap seagama – kondisi ini yang masih terus terjadi hingga masa modern ini.
Dua Perang Dunia makin menyengsarakan
Berakhirnya Perang Dunia Pertama yang ditandai dengan runtuhnya Kekhalifahan Ustmaniyah (Kekaisaran Ottoman Turki) membawa korban di antara orang Kristen Timur Tengah.
Ustmaniyah menanggapi kekalahannya melawan Rusia di Armenia dan Kaukasus, dengan menyerang minoritas Armenia yang mayoritas menganut agama Kristen. “Ada dua alternatif: Armenia akan melibas Turki, atau Turki akan melibas mereka,” tulis pejabat Ustmaniyah Mehmed Resid dalam memoarnya.
“Dihadapkan dengan kebutuhan untuk memilih, saya tidak lama ragu-ragu. Sebelum mereka melakukan dulu kepada kami, kami akan menyingkirkan mereka.”
Sebanyak dua ribu pemimpin Armenia ditangkap dan dibantai di Istanbul pada 24 April 1915. Peristiwa ini digambaran sebagai genosida pertama abad ke-20. Meskipun negara Turki saat ini membantah istilah itu.
Dalam kurang darisatu tahun, ratusan ribu dipaksa mengungsi, harta benda mereka disita, dan banyak dari mereka tewas.
Armenia didukung banyak sejarawan dan sejumlah parlemen asing menyebutkan hingga 1,5 juta orang Armenia dibunuh secara sistematis di hari-hari terakhir Kesultanan Ottoman. Bersamaan dengan itu juga terjadi genosida terhadap orang-orang Yunani dan Asyiria – mereka juga menganut Kristen – di wilayah Ustmaniyah. Wilayah Kekaisaran Ottoman menjadi koloni pemenang perang: Inggris dan Prancis.
Mendekati dan setelah Perang Dunia II usai, negara-negara koloni Inggris dan Prancis memberontak dan menetapkan kemerdekaanya. Mesir, Lebanon, Yordania, Irak, dan Siprus. Kemerdekaan bangsa-bangsa tersebut seiring dengan meningkatnya kesadaran nasionalisme Arab.
Kristen Timur Tengah Kini
Seiring meningkatnya ekstremisme penganut Islam di daerah itu dan campur tangan terlalu dalam pihak Barat – yang banyak didasari kepentingan ekonomi – penganiayaan terhadap komunitas Kristen di Timur Tengah makin berat. Ada yang mengatakan bahwa penganiayaan ini belum pernah terjadi bahkan saat masa kekhalifahan Ustmaniyah. (Indonesia.Ucanews.com dan SinarHarapan.com)
Huruf N dalam alfabet Arab, berarti Nasrani. Ini adalah tanda yang dipasang ISIS di rumah-rumah orang Kristen Mosul untuk dijarah dan penghuninya dipaksa menganut Islam, diusir, dipasang pajak tinggi, atau dibunuh!
Kekristenan lahir di kawasan Timur Tengah, tapi komunitas-komunitas Kristen di daerah itu terus menyusut. Dari Irak ke Suriah hingga Mesir, mereka Kristen berada di bawah ancaman. Termasuk genosida. Bagaimana iman mereka—termasuk di jemaat gereja Bethlehem—menopang mereka dan bagaimana penurunan jumlah mereka mengubah wilayah tersebut? Artikel panjang ini mengungkapkannya.
Bangku-bangku di Gereja First Baptist Bethlehem terisi cepat oleh aliran jemaat pada Minggu (22/12) malam, beberapa dengan dompet mewah, orang lain dengan sepatu usang dan tas KFC. Mereka yang terlambat harus puas dengan kursi plastik di belakang.
Saat ibadah berlangsung, tangan-tangan terangkat di udara bersama dengan jemaat menyanyikan lagu pujian dan syukur kepada Tuhan. Ibadah dihadiri lebih dari 1.300 orang yang mendengar pesan Alkitab. Mereka menanggapi undangan Kristus.
Di kota yang dipercaya sebagai tempat Yesus Kristus dilahirkan, gereja ini adalah sesuatu yang disebut keajaiban modern. Didirikan di sebuah apartemen dua kamar tidur tiga dekade yang lalu oleh Pastur Naim Khoury, Gereja telah dibom 14 kali selama intifada pertama, berjuang dengan kesulitan keuangan, dan kini menghadapi kasus hukum dengan Otoritas Palestina, yang tidak mengakui mereka sebagai Gereja.
Ribuan orang Kristen di Bethlehem menghadapi perselisihan politik dan ekonomi serupa selama beberapa dekade terakhir. Ini menyebabkan banyak dari mereka melarikan diri dari kota tempat tokoh sentral kekristenan lahir di palungan. Orang Kristen di Bethlehem sempat mencapai 80 persen dari populasi, kini tinggal 20 sampai 25 persen. Namun, Gereja ini menentang tren. Jemaatnya 300 anggota yang kuat dan berkembang.
“Kami berjuang dan berjuang untuk tetap dan tidak menyembunyikan apa yang kita yakini,” kata Khoury, yang selamat dari terjangan peluru di bahunya dari penembak jitu yang tak dikenal, saat di tempat parkir gereja lima tahun lalu. “Sudah waktunya bagi mereka untuk menyadari bahwa kita di sini. Tidak ada cara bagi kita untuk menutup gereja dan pergi ke tempat lain … Kami membuktikan diri di sini dengan bantuan Tuhan bahwa kita di sini untuk tinggal sampai Tuhan datang kembali.”
Iman gigih Khoury adalah sesuatu yang juga banyak dimiliki orang Kristen—tidak hanya di sini di Tanah Suci, tetapi di seluruh Timur Tengah. Dua ribu tahun setelah kelahiran Yesus, orang Kristen berada di bawah ancaman serangan besar yang meningkat setiap abad. Ini mendorong beberapa orang untuk berspekulasi bahwa salah satu dari tiga agama besar dunia ini bisa lenyap seluruhnya dari wilayah tersebut dalam satu atau dua generasi mendatang.
Dari Irak, yang telah kehilangan setidaknya setengah dari orang-orang Kristen yang selama satu dekade terakhir, kita ke Mesir dan melihat serentetan kekerasan anti-Kristen terburuk selama 700 tahun pada musim panas ini. Lalu, di Suriah, tempat para jihadis membunuh orang-orang Kristen dan mengubur mereka di kuburan massal. Para pengikut Yesus selain menghadapi kekerasan, juga menghadapi jumlah gereja yang menurun dan terpecah-pecah. Orang Kristen kini hanya mencapai lima persen dari populasi Timur Tengah, turun dari 20 persen pada abad lalu. Banyak orang Kristen Arab marah bahwa Barat tidak berbuat lebih banyak untuk membantu.
Meskipun banyak orang Muslim dibesarkan dengan teman-teman Kristen, kekuatan politik dan sosial yang kuat telah membuat kebersamaan (Koeksistensi) tersebut semakin lebih sulit. Saat politik Islam mendapat dukungan, orang-orang Kristen sama sekali tidak dapat lagi menemukan perlindungan dalam identitas Arab mereka, bersama dengan tetangga Muslim mereka. Mereka malahan makin terdampar oleh penekanan pada identitas keagamaan. Seruan agar mereka mendapat hak kewarganegaraan yang sama diselingi dengan cerita-cerita dari ekstremis Islam yang memaksa orang Kristen masuk Islam atau membayar pajak selangit. Dan, banyak orang Muslim sendiri juga menghadapi penganiayaan saat pergolakan Arab pada 2011 terus berlangsung di seluruh wilayah dan negara-negara yang berusaha menemukan keseimbangan antara kebebasan dan stabilitas.
“Apa pun yang terjadi, sangat sulit untuk mengembalikan kondisi seperti dahulu,” kata Fiona McCallum, pakar Kristen Timur Tengah di University of St Andrews di Skotlandia.
Sejak Abad Pertama
Yang pasti, orang Kristen telah dihadapkan masa sulit sebelumnya hingga sekarang, dari pembunuhan pengikut langsung dari Yesus Kristus pada abad pertama hingga penindasan kaum Mamluk terhadap orang Kristen sejak abad ke-13, juga munculnya aktivitas militan Islam di Mesir pada 1970-an. Prajurit dari Eropa yang membawa nama Kristus juga harus bertanggung jawab atas kekerasan antaragama mengerikan selama Perang Salib Pertama pada tahun 1099, ketika orang-orang Kristen mengambil alih Yerusalem dan membantai hampir semua warga kota.
Peristiwa-peristiwa ini adalah bukti lain surutnya sejarah Kristen di Timur Tengah. Jelas orang Muslim dan Kristen, saat mereka dalam posisi minoritas, cenderung akan terpengaruh oleh penurunan lanjutan.
Orang Kristen secara tradisional menjalankan beberapa sekolah terbaik di kawasan itu, menjadi pedagang, dan membawa pengaruh moderat kepada masyarakat dan politik. Untuk itu tidak hanya orang Kristen dan aktivis hak asasi manusia saja yang melobi untuk pelestarian komunitas ini, tetapi beberapa pemimpin Muslim juga.
“Perlindungan terhadap hak-hak orang Kristen Timur Tengah adalah kewajiban, bukan sekadar kerelaan,” kata Raja Yordania, Abdullah pada September 2013, saat ia berbicara kepada para delegasi pada konferensi yang disponsori istana tentang “Penganiayaan Kristen Arab”. “Orang Kristen selalu memainkan peran kunci dalam membangun masyarakat kita dan membela bangsa kita.”
Huruf N dalam alfabet Arab, berarti Nasrani. Ini adalah tanda yang dipasang ISIS di rumah-rumah orang Kristen Mosul untuk dijarah dan penghuninya dipaksa menganut Islam, diusir, dipasang pajak tinggi, atau dibunuh!
Saat angin malam menyapu ibukota Yordania, Amman, puluhan pengungsi Irak keluar dari Paroki Hati Kudus, menyentuh atau mencium salib dalam perjalanan mereka keluar.
Di antaranya adalah Mofed, seorang Kristen Arab yang baru-baru ini melarikan diri dari kekacauan di negeri asalnya. Setahun lalu, Mofed—seperti pengungsi lainnya, hanya akan memberikan nama depannya karena takut diserang kelompok ekstrem—menjalankan toko foto di Baghdad. Lalu suatu hari beberapa orang datang ke toko dan memberinya tiga pilihan: menjadi Muslim, membayar pajak (jizyah) $ 70.000 (Rp 858 juta)per kapita dikenakan pada non-Muslim, atau dibunuh, bersama dengan keluarganya.
“Anda membayar, atau terbunuh,” kata istrinya, Nuhad. “Tidak ada pilihan lain. Jika Anda mengatakan, ‘Ya, saya akan menjadi Muslim,’ tidak ada masalah. Itu adalah tujuan mereka, Anda menjadi mualaf.”
Mofed dan Nuhad memutuskan untuk melaksanakan pilihan keempat: melarikan diri dari tanah air mereka, membawa tiga anak mereka bersama mereka. Keputusan mereka adalah simbol dari hal-hal yang telah dilakukan sekitar setengah juta orang Kristen sejak invasi di bawah pimpinan AS ke Irak pada 2003 dan perang saudara brutal berikutnya di sana. Selama waktu itu, ekstremis Muslim telah menyerang lebih dari 60 gereja Kristen di kawasan Timur Tengah. Ini termasuk pada 2010 saat kelompok yang terkait Al Qaeda menyerang Gereja Bunda Sang Juruselamat yang menewaskan 58 jemaat.
Perkembangan kelompok jihad setelah jatuhnya Saddam Hussein, ditambah dengan kebangkitan Islam politik, telah membuat lingkungan yang sudah tegang bahkan lebih tak tertahankan bagi komunitas Kristen di negara itu. Padahal, komunitas Kristen telah menjadi bagian dari masyarakat Irak selama lebih dari 1.900 tahun.
Walaupun banyak umat Islam telah melarikan diri dari kekacauan di Irak juga, proporsi pengungsi Kristen tidak proporsional. Empat tahun perang Irak, orang-orang Kristen—5 persen dari populasi di Irak sebelum perang—menyumbang 15 sampai 18 persen dari pengungsi Irak yang terdaftar di negara-negara tetangga, menurut Palang Merah Internasional. Saat ini, kurang dari 500.000 orang Kristen tetap berada di Irak dari populasi sebelum perang dari 1.000.000-1.400.000.
Kristen Suriah
Orang Kristen di Suriah mengkhawatirkan hal yang sama bisa terjadi di negara mereka. Di Suriah, perang saudara telah menyebabkan kenaikan kelompok militan, beberapa yang berafiliasi dengan Al-Qaeda. Banyak jemaat yang pernah membanggakan diri menjadi bagian dari salah satu komunitas Kristen paling aman di Timur Tengah sekarang menghadapi penculikan atau kematian. Militan Muslim menargetkan bisnis Kristen juga. Dalam beberapa bulan terakhir, para jihadis telah melakukan serangan terhadap kota Maaloula, tempat banyak warga masih berbicara bahasa Aram, bahasa Yesus.
Athraa, seorang ibu muda Suriah, mengungsi dari desanya di perbatasan Suriah-Irak dengan suami dan dua anak laki-laki untuk menghindar dari bahaya.
“Kami perkirakan, yang telah terjadi di Irak terjadi di Suriah juga,” katanya, berbicara di apartemen sederhananya di Amman. Kopernya bergoyang-goyang di atas lemari rusak.
Sebelum pemberontakan pecah pada Maret 2011, para ahli memperkirakan bahwa orang Kristen mewakili lima sampai delapan persen dari penduduk Suriah yang 22 juta orang. Patriark Suriah dari Gereja Katolik Yunani Melkite baru-baru ini menyatakan bahwa sebanyak 450.000 dari dua juta pengungsi Suriah saat ini adalah orang Kristen, meskipun angka tersebut sangat bervariasi dan sulit untuk dikonfirmasi.
Mesir
Walaupun di Irak dan Suriah adalah tempat kemungkinan terjadi kekerasan yang paling buruk, namun sebenarnya kekerasan ini telah meluas, beberapa serangan anti-Kristen yang paling terkonsentrasi tahun ini memang terjadi di Mesir. Ini menjadi perhatian khusus bagi orang Kristen di tempat lain di wilayah ini. Sebab, penduduk Kristen Mesir, sekitar sembilan juta, adalah populasi Kristen terbesar di Timur Tengah. Keruntuhan Gereja di sana akan sangat menurunkan semangat orang-orang Kristen.
Orang Kristen Mesir, 10 persen dari populasi, menghadapi pembatasan keras untuk membangun atau merenovasi gereja-gereja. Warga Kristen mengatakan bahwa mereka sering menghadapi diskriminasi di sekolah dan tempat kerja. Serangan terhadap orang Kristen dan tempat ibadah mereka meningkat di tahun-tahun terakhir pemerintahan Hosni Mubarak, yang digulingkan dalam pemberontakan Januari 2011.
Saat kelompok Islamis memperluas kekuasaan mereka setelah kejatuhan Mubarak, banyak orang Kristen mengatakan ancaman dan serangan telah menjadi berlipat ganda, terutama setelah pemilihan Mohamed Morsi sebagai presiden. Tapi, kekerasan tidak berkurang setelah Morsi dan Ikhwanul Muslimin telah dihapus dari kekuasaan pada musim panas ini oleh pihak militer. Banyak Islamis menyalahkan orang Kristen. Orang Kristen dituduh mendukung kudeta. Dan, pendukung Morsi marah menyerang puluhan gereja di seluruh Mesir pada Agustus.
Samuel Tadros, penulis Motherland Lost: The Egyptian and Coptic Quest for Modernity, menyebut hal itu sebagai serentetan aksi kekerasan terburuk untuk Mesir Koptik sejak abad ke-14.
Bukan hanya orang Kristen yang peduli. Sheikh Ali Gomaa, Mufti Agung Emeritus dari Mesir dan salah satu dari empat ulama Muslim senior yang menghadiri konferensi Kristen Arab di Amman musim gugur ini, mengecam serangan dan penganiayaan terhadap gereja, dan penghinaan terhadap orang-orang Kristen di Mesir.
“Ini adalah pelanggaran besar tidak hanya pada tingkat kemanusiaan, tetapi pada tingkat Islam juga,” katanya. “Ini adalah tugas kita untuk menghilangkan kepahitan ini dan ketegangan, yang mengorbankan saudara-saudara kita di Mesir.”
Di tempat lain di Timur Tengah, situasi yang lebih tenang tapi masih sulit bagi banyak orang Kristen. Di Yordania, orang Kristen membentuk tiga sampai empat persen dari negara itu, tetapi memiliki kuota parlemen dari enam persen dan pemerintah yang mempromosikan dialog antaragama. Di Lebanon, populasi Kristen tetap blok terbesar di kawasan ini dalam hal persentase, dengan sekitar 36 persen, dan Kristen dijamin setengah kursi di parlemen oleh hukum.
Kristen Gaza
Di Gaza, terdapat kurang dari 2.000 orang Kristen. Militan Muslim telah mengebom gereja, membunuh orang Kristen terkemuka, dan memaksa mereka masuk Islam. Di Tepi Barat, orang-orang Kristen Arab lebih baik daripada banyak di beberapa bagian wilayah itu apalagi Gaza, tetapi hanya sekitar 50.000 tinggal di sana—sekitar dua persen dari populasi, turun dari 10 persen pada 1920. Sebagian besar perubahan itu, karena pertumbuhan yang lebih cepat jumlah Muslim daripada penurunan aktual dalam total jumlah orang Kristen.
Satu pengecualian adalah Israel. Di Israel, populasi Kristen telah tumbuh hampir lima kali lipat menjadi 158.000, sejak negara itu berdiri pada 1948. Meski begitu, persentase mereka telah menurun dari sekitar 3 persen menjadi 2 persen. Dan, para kritikus mencatat bahwa keluarga Kristen Palestina yang melarikan diri atau dipaksa keluar sesaat sebelum berdiri Israel, yang menambah persentase orang Kristen Israel. Sebagian besar peningkatan ini disebabkan oleh imigrasi orang-orang Kristen dari bekas Uni Soviet, di bawah hukum Israel yang diperluas, yang menyambut mereka yang beribu Yahudi atau nenek Yahudi dari pihak ibu.
Tapi, ada juga komunitas yang kuat dari orang-orang Kristen Arab Israel—meskipun mereka bukan tanpa tantangan. Di Nazareth, misalnya, Islam berusaha untuk membangun sebuah masjid yang menutupi Gereja Annunciation. Ketika digagalkan oleh Israel, kaum Islamis ngotot membuat banner memproklamirkan ayat Alquran, Surah Ali Imran ayat 85: “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.”
Michael Oren, yang baru-baru ini mengundurkan diri sebagai duta besar Israel untuk Amerika Serikat, mengakui bahwa ada diskriminasi terhadap orang-orang Kristen di Israel tetapi dia mengatakan itu dilakukan oknum dan bukan kebijakan pemerintah. “Jika dibandingkan dengan yang terjadi di wilayah ini, Israel adalah sebuah oase bagi orang Kristen,” kata Michael Oren.”Timur Tengah adalah tempat orang Kristen teraniaya dan tidak ada yang melakukan banyak untuk mengubah keadaan itu.”
Huruf N dalam alfabet Arab, berarti Nasrani. Ini adalah tanda yang dipasang ISIS di rumah-rumah orang Kristen Mosul untuk dijarah dan penghuninya dipaksa menganut Islam, diusir, dipasang pajak tinggi, atau dibunuh!
Di bawah penguasa Islam seperti kesultanan Mamluk Mesir 1250-1517, orang-orang Kristen—terutama mereka yang pernah menduduki jabatan pemerintah—menjadi korban kekerasan dan diskriminasi. Kekaisaran Ottoman (Utsmaniyah) selanjutnya memberikan komunitas Kristen otonomi yang lebih dan itu memungkinkan mereka untuk berkembang di banyak daerah, meskipun ada pengecualian mengerikan seperti pada 1915 saat terjadi genosida Armenia yang menewaskan sedikitnya sejuta orang Kristen Armenia tewas.
Orang Kristen Arab memainkan peran kunci dalam Nahda, atau kebangkitan Arab, dari abad ke-19, yang membantu mendorong Timur Tengah maju setelah berabad-abad mengalami kemunduran di bawah kekuasaan dinasti Ottoman. Orang-orang Kristen pada saat itu memeluk gagasan identitas Arab yang didasarkan pada bahasa dan budaya bersama dan bukan agama. Mereka menjadi ujung tombak munculnya sekolah-sekolah baru dan sangat terkenal dalam lingkaran sastra. Mereka juga pedagang yang sangat sukses.
Tapi kolonialisme Eropa merumitkan dinamika tersebut. Sebab, beberapa kaum Muslim membenci apa yang mereka lihat sebagai perlakuan istimewa pihak Barat kepada orang Kristen. Hal ini memicu ketidakpercayaan dan persepsi bahwa orang Kristen adalah impor Barat daripada masyarakat asli setempat—stereotip yang terus dilawan orang Kristen Arab hingga hari ini. Kecurigaan makin memburuk sejak 2011 pemberontakan meletus di seluruh dunia Arab.
Dr Roggema melihat tiga perbedaan utama antara masalah yang dihadapi umat Kristiani hari ini dan orang-orang dari masa lalu: kelompok jihad memiliki akses ke senjata pada skala amat besar dalam sejarah, propaganda dapat lebih mudah menyebar dari sebelumnya, dan karena keterlibatan Barat di Timur Tengah, komunitas Kristen setempat lebih mudah dituduh loyal ke Barat daripada kepada masyarakat mereka sendiri.
“Ini adalah kesalahan umum sejarah dan logika jika mengklaim bahwa menjadi Kristen sama dengan pro-Barat, tapi kesalahan itu menguntungkan bagi jihadis. Sebab mereka mudah menuduh orang-orang Kristen Timur Tengah tidak milik hak atas tanah mereka sendiri,” katanya.
Nasief Awwad baru berusia tujuh tahun ketika ibunya meninggal, jadi ayahnya—seorang buruh Muslim—memutuskan untuk mendaftarkan dirinya di sebuah sekolah asrama yang dijalankan kaum Kristen Mennonite di kota Hebron, Tepi Barat. Kemudian, Nasief dipindahkan ke Sekolah Menengah Hope Secondary School dekat Bethlehem, sehingga ia tidak hanya menerima pendidikan model Kristen, tetapi juga pengasuhan.
Hari ini, Awwad adalah kepala sebuah perusahaan konstruksi jalan raya utama dan melayani di banyak pemerintah daerah. Pada satu titik, ia menawarkan sebanyak 20 beasiswa universitas setiap tahun untuk mahasiswa berprestasi. Dia memuji pendidikan Kristen sebagai batu fondasi kesuksesannya dan mengatakan ia menikmati mengoreksi kesalahpahaman tentang agama Kristen di antara sesama muslimnya.
“Saya menghargai semua hidup saya… bantuan yang saya terima, pendidikan yang saya dapatkan dari sekolah Mennonite, dari keluarga Mennonite—guru dan [para sponsor di luar negeri] yang membayar untuk pendidikan saya,” kata Awwad, yang mengirim keempat anak-anaknya ke Friends School di Ramallah yang dikelola kaum Kristen Quaker. “Saya tidak melupakannya.”
Keuntungan pendidikan Kristen Awwad menggarisbawahi mengapa banyak yang mengatakan bahwa penting untuk menjaga komunitas Kristen di Timur Tengah. Mereka melihat kualitas sekolah mereka, kontribusi mereka sebagai pengusaha, pedagang, dan konsumen kelas menengah-atas. Dan, pluralitas agama yang mereka bawa sebagai hal penting dan memperkaya masyarakat Arab. Sekarang, sebagai komunitas mereka menyusut atau menjadi makin terpinggirkan, pertanyaan kuncinya adalah apakah pengaruh positif juga akan berkurang?
Di satu sisi, Tepi Barat memberikan contoh bagi masyarakat Arab lainnya yang mungkin terlihat jika emigrasi Kristen terus berlanjut. Di Bethlehem, misalnya, pemilik bisnis Kristen yang pernah mencapai sepertiga yang menggeluti industri batu dan marmer, hari ini mereka tinggal dua persen, kata ekonom Samir Hazboun, yang memimpin Kepala Kamar Dagang Bethlehem. Dalam industri tekstil, mereka pernah mengelola sekitar 80 persen dari bisnis, namun kini sebagian besar telah ditutup.
Orang Kristen juga mengelola lebih baik dalam industri pariwisata. Hari ini, 40 dari 43 hotel di Bethlehem dimiliki oleh orang-orang Kristen, meskipun jarang penuh, dan banyak pemilik toko souvenir juga mengatakan mereka sedang berjuang. Karena tantangan ekonomi, Israel sering disalahkan sebagai penyebabnya, telah membuat banyak orang Kristen—serta Muslim—meninggalkan Bethlehem.
Beberapa mengatakan kualitas pendidikan yang tinggi yang ditawarkan oleh sekolah-sekolah Kristen tanpa disadari memengaruhi eksodus Kristen—dan dengan itu hilanglah elite terdidik.
“Sekolah-sekolah Kristen yang membantu untuk mendidik orang-orang Kristen di Jalur Gaza dan di Tepi Barat secara tidak langsung, tanpa sengaja, telah mendorong diaspora orang Kristen… dan mereka melakukan itu dengan cara memberikan pendidikan yang berkualitas kepada orang Kristen,” kata Alex Awad dari Bethlehem Bible College sembari menekankan bahwa cakrawala yang lebih luas, bahasa-bahasa Eropa, dan keakraban budaya membantu mereka untuk masuk ke masyarakat Barat. “Itu adalah berkat bagi orang-orang ini, tapi memperburuk masyarakat secara keseluruhan.”
Tetapi orang- orang Kristen yang masih tinggal, aktif dalam masyarakat. Menurut Diyar Konsorsium-Lutheran di Bethlehem, hampir setengah dari pegawai sipil Palestina beragama Kristen, dan lembaga-lembaga Kristen (termasuk gereja) adalah salah satu perusahaan terbesar setelah Otoritas Palestina. Gereja menyediakan lapangan pekerjaan bagi 22.000 orang Kristen dan Muslim.
“Anda akan melihat bahwa orang Kristen punya peran sangat penting di organisasi, yayasan, sekolah, rumah sakit. Mereka sangat berkontribusi dalam perkembangan dan kemakmuran di kota,” kata Walikota Bethlehem, Vera Baboun. Ia juga mengatakan bahwa ia dan rekan-rekan Kristen-nya juga mempertahankan pengaruh yang signifikan dalam Otoritas Palestina. Beberapa menjabat sebagai duta besar dan menteri pemerintah. “Kami adalah bagian dari proses pengambilan keputusan di Palestina.”
Sejauh interaksi tersebut hilang—atau terminimalkan karena adanya penganiayaan, pemisahan, atau tidak adanya penambahan jumlah orang-orang Kristen—para ahli percaya hal itu akan merugikan masyarakat. “Penyempitan kepercayaan sudah terjadi,” kata Nina Shea, salah satu penulis Persecuted: The Global Assault on Christians. “Ada intoleransi dari penganut agama ‘yang lain’ dan itu akan terus terjadi. Bahkan ketika semua non-Muslim telah diusir, dorongan untuk penyeragaman akan terus berlanjut, dan sekte-sekte akan berperang satu sama lain.” [seperti Sunni vs Syiah, Red.)
Al-Quran dan Salib
Di tengah semua penganiayaan dan kekerasan, banyak orang Kristen di Timur Tengah yang mampu bertahan dengan memegang dua hal—iman dan persekutuan mereka dengan orang Kristen lainnya. Hany Sedhom, salah satunya, telah merasakan dukungan yang kuat.
Pada akhir September, Hany Sedhom, orang Kristen paruh baya dari kota Mesir Minya, diculik, dipukuli, tanpa diberi makanan dan air, dan diancam akan dibunuh sementara penculik mendesak keluarga untuk membayar tebusan 300.000 pound Mesir (sekitar Rp 473 juta). Dengan bantuan dari anggota-anggota gereja dan teman-teman Kristen, keluarganya mampu membayar.
“Gereja bertindak sebagai tubuh Yesus. Mereka semua berdoa untuk saya,” kata Sedhom, menceritakan betapa, ketika ia kembali ke rumah setelah dua hari yang mengerikan, anggota gereja dan organisasi keagamaan tempat ia beribadah sedang menunggu di rumahnya dengan keluarganya untuk menyambutnya. “Ini adalah dua hal yang membuat saya bertahan—Tangan Tuhan dan gereja.”
Sedhom adalah salah satu dari sekitar 80 orang Kristen yang diculik di kota Minya sejak “Arab Spring 2011”. Dan, dengan puluhan orang menjadi target penculikan di tempat lain di Mesir. Mereka diculik bukan karena alasan agama, tetapi karena mereka berada dalam posisi masyarakat lemah sebagai minoritas. Mereka tidak memiliki keluarga yang membalas kekerasan seperti banyak Muslim lakukan. Dan, karena komunitas mereka cukup dekat berarti penculik berharap bisa mendapatkan tebusan besar.
Komunitas-komunitas lain telah mengalami juga serangan yang lebih terbuka pada iman mereka, seperti Gereja St Mina di Imbaba, yang diserang beberapa bulan setelah penggulingan Mubarak. Namun, bahkan di sini, para pemimpin gereja mendesak jemaat untuk menghadapi ancaman ini, dengan ‘memberi pipi lainnya’.
Imam kepala, Abanoub Gad membuka Alkitab usang, beberapa bagian disorot dalam warna pink cerah, Matius 5:44, di mana Yesus berkata kepada murid-muridnya, “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.”Pastor Gad mendorong jemaatnya untuk melatih ajaran itu dalam kehidupan mereka sendiri dan mengingatkan mereka tentang hubungan baik yang mereka nikmati dengan tetangga Muslim mereka dan teman-teman selama beberapa dekade, untuk menekankan bahwa para ekstremis yang menyerang gereja-gereja tidak mewakili mayoritas. Walaupun beberapa ulama memerintahkan umat Islam untuk tidak memberi salam kepada orang-orang Kristen untuk perayaan Kristen, Gad mengatakan dia mengatakan kepada jemaat: “Pergilah merayakan pesta mereka dengan mereka”
Banyak orang Kristen percaya bahwa sentralitas pengampunan dalam ajaran Yesus bisa dapat memainkan peran penting dalam membantu mengurangi kekerasan sektarian di Timur Tengah.
“Kekristenan dapat membawa panutan, pendiri—Yesus, dan murid-murid pribadiNya—yang bukan prajurit, yang tidak mencoba untuk membangun kekuatan politik,” kata Paul Wright, seorang pendeta Kristen Baptis, sarjana Alkitab, dan presiden Yerusalem Universitas college.
Pada akhirnya, banyak yang berpendapat, bahwa ini adalah jenis iman hidup yang akan membuat kehidupan kekristenan di Tanah Suci dan seterusnya. Ini adalah pendekatan yang lebih bergantung pada kualitas dan kesetiaan iman mereka dari pada jumlah penganut—tidak berbeda dengan orang-orang Kristen Purba yang sangat kecil jumlahnya, dan telah dianiaya selama 2.000 tahun yang lalu.
“Kecuali [orang Kristen ] memiliki… insentif spiritual dan moral, maka apakah mereka tinggal di sini atau tidak, itu tidak membuat perbedaan,” kata Profesor Awad dari Bethlehem Bible College. “Saya pikir kami memiliki pemahaman tentang Allah melalui Yesus Kristus yang dapat memberkati seluruh penduduk dan membantu dunia Arab dengan perjuangan yang mereka hadapi.” (SinarHarapan.com dan CSmonitor.com)