Beberapa waktu yang lalu saya berjumpa dengan seorang Pastor Paroki yang menceritakan kepada saya pengalaman yang menarik. Ia menjumpai seorang muda yang tidak pernah mau berdoa Bapa Kami. Ketika ditanya alasannya, orang muda itu mengatakan bahwa setiap kali ia ingin mengucapkan doa itu, ia merasa mual. Bagi dia mengucapkan doa Bapa Kami hanya mengingatkan dirinya akan peristiwa buruk yang pernah ia alami dengan bapaknya. Pengalaman buruk dengan bapaknya sendiri itu meninggalkan luka batin yang mendalam, sehingga ia tidak mau lagi berdoa Bapa Kami. Pengalaman manusiawi yang buruk, ternyata dapat berpengaruh besar akan gambaran dan pengalaman seseorang akan Allah. Dan pada gilirannya, gambaran dan pengalaman akan Allah tertentu, sadar atau tidak sadar, akan menentukan cara berpikir, sikap dan perilaku seseorang.
Pada tanggal 25 Desember 2005, Paus Benediktus XVI mengeluarkan ensikliknya yang pertama, yang berjudul “Allah adalah Kasih” (=Deus Caritas Est), yang adalah kutipan dari 1 Yoh 4:8.16. Ensiklik ini pertama, bukan hanya dalam arti urutan dalam daftar tulisan Paus Benediktus XVI. Dengan menulis ensiklik ini sebagai yang pertama, bisa dikatakan bahwa Paus ingin memberi perspektif karya pelayanannya dalam Gereja. Paus ingin menempatkan semua yang ia pikirkan, lakukan, putuskan – seluruh karya penggembalaannya – dalam rangka mewartakan bahwa Allah adalah Kasih. Mengapa ini begitu penting? Jawabannya ada dalam pengantar. Di dalamnya antara lain dikatakan, “Dalam dunia, di mana nama Allah kadang-kadang dikaitkan dengan balas dendam atau bahkan kewajiban akan kebencian dan kekerasan, pesan ini amat aktual dan mengena” (No. 1).
Keyakinan iman bahwa Allah adalah Kasih, merupakan buah dari kontemplasi Santo Yohanes yang dinyatakan dalam suratnya yang pertama : “Allah adalah kasih, dan barangsiapa tetap berada di dalam kasih, ia tetap berada di dalam Allah dan Allah di dalam dia” (1 Yoh 4:8.16). Allah inilah yang “lebih dahulu mengasihi kita” (1 Yoh 4:19). Rasul Paulus mengatakan hal yang sama dengan cara berbeda. Ia menulis, “…. Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa” (Rom 5:8).). Pengalaman akan kasih Allah itu menjadikan mereka pribadi-pribadi yang utuh, matang, kudus. Semoga kita, keluarga dan komunitas kita, dengan menyambut kedatangan Yesus Putera Allah Sang Kasih dalam perayaan Natal, semakin dapat mengalami kasih Allah yang membaharui kehidupan. Salam dan Berkat Tuhan untuk Anda, keluarga dan komunitas Anda. (Mgr. I. Suharyo)
(Tulisan ini pernah dimuat dalam INFO GEMBALA BAIK KAJ Edisi. 11, thn.1, 2012)