Gereja dipanggil menciptakan budaya pelayanan penuh kasih. Spiritualitas melayani harus membadan dalam ucapan dan tindakan keseharian.
Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) menggulirkan sebuah gerakan untuk semakin menghadirkan wajah Gereja yang melayani. Dalam Arah Dasar Pastoral (Ardas) KAJ 2011- 2015, tahun 2014 ini, umat KAJ diajak meng hayati dan menghidupi Tahun Pelayanan. Gerakan yang baru digulirkan ini merupakan salah satu upaya KAJ menampilkan jati diri Gereja.
Menurut Vikaris Jenderal KAJ ini, jati diri Gereja dapat dilihat dalam empat hal. Pertama, cita-cita atau visi dan misi Gereja. Kedua, struktur Gereja. Gereja Katolik dikenal memiliki struktur yang amat kuat, dari kepausan hing ga lingkungan-lingkungan. Ketiga, leadership atau kepemimpinan. “KAJ me rumuskan kepemimpinan sebagai jati diri Gereja dalam dua kata yakni par tisipatif dan transformatif,” urai Romo Subagyo. Gereja sebagai sebuah per sekutuan umat beriman dan gerakan mewujudkan Kerajaan Allah, harus melibatkan banyak pihak dalam mengambil kebijakan. Gereja juga menjadi lembaga yang terus-menerus bertransformasi, mengubah menjadi lebih baik. “Maka, tata kelola paroki harus bergerak menuju ke arah yang lebih baik,” imbuhnya.
Dan, keempat, adalah culture atau budaya lembaga. Gereja harus menciptakan budaya penuh kasih dan nyaman bagi siapapun. Umat harus dibuat senang dan bersyukur, karena sudah menjadi bagian Gereja. Maka, gerakan untuk menciptakan pelayanan prima di paroki-paroki merupakan upaya untuk menghadirkan suasana Gereja yang semakin dipenuhi kasih dan disemangati roh pelayanan.
Berikut petikan wawancara dengan Romo Subagyo:
Mengapa pelayanan prima?
Pelayanan prima merupakan salah satu cara untuk membentuk dan menghadirkan jati diri Gereja. Pelayanan prima ini adalah budaya yang me njadi ciri khas dari sebuah lembaga. Nah, salah satu yang khas dari lembaga Gereja adalah semangat melayani. Kadangkala, kita begitu fasih berbicara tentang semangat kasih, spiritualitas pelayanan, namun semangat dan spiritualitas itu tidak pernah membadan dalam ucapan dan perilaku kita.
Bagaimana pelayanan prima ini diwujudkan?
Saat ini, hampir semua lembaga swasta ataupun instansi pemerintah berlomba-lomba menghadirkan pelayanan yang baik. Lalu, bagaimana dengan pelayanan di paroki-paroki? Kadangkala, pelayanan di sekretariat paroki tidak lebih baik dari kantor kelurahan. Birokrasinya berbelit-belit, dan pe layanannya juga tidak memuaskan.
Melihat kondisi ini, menurut saya, diperlukan sebuah transformasi, sebuah perubahan. Tidak mengubah semua, tetapi mengubah menjadi semakin lebih baik. Dan, proses ini dimulai dari mereka yang berada di garis depan pelayanan umat, yakni para pegawai sekretariat paroki. Mereka perlu dibekali dengan pola pikir dan keterampilan-keterampilan dalam melayani umat. Mulai dari hal-hal yang paling sederhana, seperti cara menerima telepon, berbusana, menyapa tamu, menghadapi beragam keluhan umat, dan yang lain. Pola pikir mereka juga harus terarah kepada pelayanan yang ramah dan tulus hati.
Saya menyadari, ini akan mengubah budaya atau kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dan sudah mapan selama ini. Tapi, ini harus dilakukan untuk menampilkan Gereja yang semakin ramah, Gereja yang semakin melayani. Melalui pelayanan yang prima dari para pegawai sekretariat paroki, diharapkan umat akan semakin merasakan kehadiran Allah secara nyata.
Apa harapan terhadap gerakan ini?
Gerakan yang baru dimulai ini bisa memberikan dampak yang besar.Semo ga gerakan ini juga terus bergulir di paroki-paroki di KAJ, atau bahkan me nular ke keuskupan lain. Saya yakin, Roh Kudus akan terus berkarya, mungkin dengan cara-cara yang sederhana, untuk mengubah wajah Gereja sebagai persekutuan dan gerakan yang semakin melayani. Karena, jati diri Gereja adalah persekutuan umat beriman yang melayani.
Aprianita Ganadi (hidupkatolik.com)